Sabtu, November 30

Hanya Dia. Berbeda.

Aku sontak sadar setelah membaca sebuah aksara:
"Pegang tanganku tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring bukan digiring."
Itu seperti caranya mengingatkanku bahwa tidak selamanya kami harus bersama. Tidak selamanya seluruh peristiwa harus diresapi berdua. Ada kalanya ruang menjadi hal yang penting dalam sebuah hubungan. Tidak mengikat. Tidak juga mendebat.
"Jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang."
Begitupun dengan caranya yang tak mudah mengumbar kata-kata mesra. Ternyata ia hanya tak ingin hal itu menjadi semurah debu jalanan. Ia hanya ingin menggunakannya di waktu yang tepat. Ia tak mau membuatku terbang tinggi dan mudah jatuh nantinya.
Kadang cinta butuh strategi dalam berinteraksi.
Hanya dia yang bisa. Mampu. Dan berbeda.
Cuplikan quote diambil dari Filosofi Kopi karya Dewi Lestari

Minggu, November 17

Hujan. Aku rindu.

Hujan.
Lagi-lagi ia datang membawa sejumput kenangan yang sudah lama kupendam. Kali ini muncul berduyun, teriring senyum yang patah sebelah. Aku berdiri menyambutnya dengan perasaan yang masih sama di mana aku berdiri saat ia meninggalkan.
Hujan.
Tiba-tiba banyak cerita berlarian di kepala. Khayalan liar yang tak tau apakah bisa jadi nyata.
Hujan.
Aku memang menyukai senyumnya. Setiap kali ia melihatku dari atas hingga bawah dengan tersenyum tanpa berkomentar apapun. Ia tak pernah keberatan dengan pakaian yang aku kenakan saat panas maupun dingin. Ia hanya tahu, sepanjang aku nyaman menggunakannya, maka ia akan memelukku dengan mesra.
Hujan.
Bolehkah sekali saja aku marah pada keadaan.
Hujan.
Kalau kau kembali lagi nanti, biarkan aku membelaimu. Peduli setan dengan sakit yang datang belakangan. Aku hanya tak mau sejengkalpun tak menyentuh deraimu. Aku rindu.

Selasa, Oktober 22

Derap

Kita kadang mempermainkan dan dipermainkan. Kadang melangkah dan dilangkahi. Kadang menarik dan mengulur, dan ditarik juga diulur. Kadang memberi namun tak kunjung mendapatkan pemberian. Semoga kita tidak cepat tua hanya karena memikirkan balasan yang setimpal. Derap permainan dan derap langkah. Semua hanya skenario sang Pencipta.
Saat kau diulur, menjauhlah, namun ketika ia kembali menarik, jangan mudah untuk terbawa. Siapa tahu, itu hanya pelampiasan sepi yang akhir-akhir ini kalian jalani. Kalau kau mau diterima kembali, aku memang masih berdiri di sini, namun kini semua tak sama lagi. Seperti putik yang lalai dengan si benang sari.
Jangan mudah tunduk, beranilah menantang karena hidup ini sudah keras, maka berlakulah senada.

Rabu, Oktober 9

Rindu

Semua orang berkata bahwa rindu itu indah.
Bagiku, rindu itu menyiksa karena kau tak lagi bisa merindukan siapapun. Dan tidak mudah berucap rindu pada seseorang, karena kau merindukan orang yang salah. Sama sekali di luar batas kemampuanmu untuk mengendalikan.
Rindu ini biarkan menguap dengan sendirinya, sampai pada saatnya nanti, aku betul-betul dapat menyampaikan rindu pada seseorang yang baru. Kamu. Siapapun yang pastinya menemani hari baruku suatu waktu. Sampai saatnya tiba, nanti atau beberapa tahun lagi.
Rindu itu butuh waktu. Ia memang pemalu karena suaranya tengah parau (tetapi paham betul dengan arti proses yang berliku).

Senin, September 23

Si Perempuan

Hai, kenalkan, aku lelaki yang pandai membangun tinggi-tinggi batas. Batas apa saja mulai dari hal penting dan tak penting lainnya. Aku selalu terencana. Segalanya harus utuh. Sempurna. Hingga suatu waktu bagiku ini sebuah bencana…
Aku bertemu dia selewat lima tahun yang lalu, di tengah hiruk pikuk keriaan tepuk tangan dan yel-yel girang. Selintas lalu dia tak berarti apapun bagiku, tidak seperti saat aku terkesan pada cinta pertamaku. Acara musik. Lompatan klasik dan riap rambut pendek yang mengundang ratusan pasang mata untuk melirik.
Dia bukan perempuan yang kucari, polos, terlihat tak punya pendar ilmu sama sekali. Aku lebih sering terpikirkan cinta pada pandangan pertamaku, yang kemanapun selalu menjelma hantu. Aku pernah mencoba membuka hatiku, namun cepat-cepat aku tutup kembali. Tak kuasa. Ia tak pernah kuperbolehkan masuk ke dalamnya. Karena aku tak pernah berniat untuk mengundangnya.
Dia tipikal yang suka berada di keramaian. Terkadang bisa menjadi pendiam. Apa adanya, menjadi dirinya sendiri. Bukan jelmaan yang kuinginkan. Sepertinya belakangan dia tahu, aku pandai menciptakan batas. Namun dia tidak terusik dengan itu. Dia tidak mendekat, tak pula lantas mau menjauh. Jarak. Itulah yang dia ciptakan agar nantinya aku saja yang mengulurnya.
Aku mencoba menempanya dengan beragam kegelapan yang sengaja aku buat. Aku marah. Membentak. Memperoloknya. Meskipun hanya dalam canda, aku tahu ada kilat merah di matanya. Ia tetap bertahan. Upaya apapun untuk membuatnya bertekuk lutut, ia tetap pada pendirian. Sampai pada suatu saat dia bertanya padaku, “Sudah berapa lama kita saling mengenal?”
Tidak kujawab. Toh dia tahu sendiri harus menjawab apa. Mestinya dia pandai berhitung.
“Pernahkan kau merasakan sedikit saja rasa cinta padaku?” aku menoleh. Ia tidak menangis atau merajuk. Datar. Kemudian melanjutkan,”aku ini seekor gagak hitam berumur lima tahun yang awalnya belajar menembus langit untuk sampai ke kahyangan, mencoba membuktikan bahwa dewa dan cintanya itu nyata. Ternyata kahyangan bahkan tidak ingin dikenali, bahkan diraih sekalipun. Mungkin dewa dan cintanya di kahyangan memang mitos belaka, dan betapa tolol aku untuk terus mencoba menembusnya dengan gurat otot yang semakin renta juga kepak sayap yang semakin melemah daya.”
“Jadi, aku tidak bisa berlama-lama terbang menujunya. Karena semakin hari aku semakin tua dan mungkin untuk bertualang di luar batas kemampuan tak lagi bisa kukejar. Jarak ini terulur, terlalu pelan dan stagnan.”
Tak pernah lagi aku temui dia di tempat biasa. Terkadang sengaja aku mencari di tempat lain dimana dia sering ceritakan. Hingga pada bulan ketiga setelah ia akhirnya menyerah, aku berpapasan dengannya. Ia terlihat ceria seperti sebelumnya. Tak tampak gurat lelah perumpamaan gagak yang ia dongengkan kemarin. Kami berbincang. Heran. Ada rasa senang menyeruak masuk dan menciptakan desir aneh. Batas yang aku buat, sontak meringsek jatuh ke tanah ketika menemukannya.
Dia dulu perempuan biasa yang tak kucari, tak kuundang dan kini mulai menelusur di hatiku. Aku membuka percakapan dengan,”Apa kabar?”
“Aku baik, kau sendiri?” dengan parasnya yang jauh dari sempurnaku, ia mulai menggoyangkan tangannya sembari bicara, khas sekali. Lalu refleks aku menggeleng. “Kenapa?” tanyanya.
“Ah, tidak lupakan.” Aku tersenyum, kemudian tertawa untuk pertama kalinya. Kini aku tahu, dulu dia mengibaratkanku sebagai siluet senja. Ia matahari yang menyilaukan. Dan itu hal terlucu yang pernah kudengar, setelah sekian lama.
“Aku…emm..sekarang tahu bahwa kau tetap bertahan meskipun sakit terus kau telan.” kataku
“Dulu kau sangat berpengaruh dalam hidupku. Sejak dulu. Itu yang membuatku bertahan. Tapi aku lelah berjuang sendiri, hingga habis nyali ini. Beranjak memang berat, tetapi sudah lama sekali rasanya aku ditinggalkan olehmu. Belakangan aku terhenyak, semua ini sudah tak bisa kutebak alurnya. Aku bahkan tidak percaya lagi pada hatiku sendiri. Ingatlah, satu-satunya hal yang abadi adalah perubahan. Tidak terelakkan. Pasti terjadi. Ngomong-ngomong kemana saja kau selama ini?”
“Maksudmu?” aku kebingungan. Ia hanya tersenyum, bangkit dan berlalu pergi. Meninggalkan banyak tanya yang harus kutelan sendiri. Dia menjauh. Hilang.

Kamis, September 19

Gerimis dan Tanah Basah.

Jika orang-orang mengeluhkan gerimis yang gagalkan rencana mereka, aku justru mencintainya dengan sepenuh hati. Artinya, aku akan segera mencium wangi tanah basah yang bergumul dengan hujan yang malu-malu turunnya. Aromanya, ummhh, aku ilustrasikan dia sebagai parfum yang tak banyak dijual di mall. Ia tak perlu dibayar dengan uang, namun dapat dinikmati secara cuma-cuma. Hanya saja pergumulan mereka ini adalah barang langka. Karena tak semua orang menyadari, betapa mesranya paduan mereka berdua. Tanah dan gerimis. Magis!
Aku ingat pernah katakan hal ini pada seseorang, saat gerimis datang dan tanah sekeliling sedang kering,"Jika kita menghidu aroma tanah basah, pejamkan kedua matamu, niscaya seluruh lelah dan ragumu hilang."
Dia hanya tertawa, tak mengikuti anjuranku, sembari berkata,"Mana mungkin! Kau ini meracau saja. Yang ada aku membau apeknya tubuhku! Hahaha."
Aku diam. Gagal sudah seluruh upayaku untuk menjadikan suasana siang ini sedikit semarak. Namun, itulah dia, selalu saja begitu. Kami diam hingga sampai tempat tujuan. Sebuah taman.
Kami berada di persimpangan, jauh berjarak. Timur dan barat. Hitam dan putih. Manis dan pahit. Berseberangan. Namun, belakangan disadari bahwa satu-satunya yang menyatukan kami adalah diam. He is very good at the little gestures. Perbuatan-perbuatan kecil yang ia hadirkan untuk menunjukan rasa sayangnya padaku tanpa berkata apapun. Dia tidak pernah melafalkan cinta. Aku tak perlu merapal mantra untuk membuatnya berubah. Seperti tanah dan gerimis yang tak perlu menunggu perintah. Mereka hanya bergumul dan saling merayu untuk menciptakan magis yang beraroma manis.
Karena sesungguhnya kami sama-sama berada dalam kenyamanan. Meskipun hanya dalam diam.
.
.
.
Gambar dipinjam dari sini
Jika anda bertanya, maka ini adalah fiksi yang meluap dari hati. Hati siapa saja yang ingin berbagi cerita. Namun tak sepenuhnya tentang dia.

Rabu, September 4

Refleksi

Seperti bumi yang berputar pada porosnya, aku mencoba mengitarinya dengan doa agar ia selalu bisa mengendalikan semua dengan baik. Juga harapan agar rindu ini tidak muncul secara berlebihan (keterlaluan).
Sesekali, ingin aku menjadi seperti Nobita yang memiliki Doraemon dan mesin waktunya, agar aku bisa kembali pada kenangan kapan saja. Hidup dalam kenangan memang berbahaya, akan tetapi sesekali boleh kau menengoknya untuk merefleksi diri, betapa hidup memang harus lebih baik dari masa sebelumnya. Betapa hidup memang butuh mengecap kesendirian. Agar ketakutan pada dunia tidak sepenuhnya menguasai diri. Dunia memang menakutkan, tetapi keberanian lebih penting untuk segera ditemukan.
Sekarang saja nikmati sendiri, kapan lagi? Ketika kelak nantinya harus benar-benar berbagi.

Senin, Agustus 12

Sampai Jumpa

Kalau dingin menyergap seperti saat ini, kau mungkin satu diantara angan yang memerangi sepi. Sekarang, apalagi yang hendak kau katakan? Kita tidak lagi berada dalam prinsip yang sama. Bahkan kau memutuskan untuk meninggalkan segalanya, termasuk aku. Iya. Yang selama ini berharap banyak pada kata “kita”.
Siluetmu itu masih tersimpan rapi dalam ingatanku. Mereka menempatkannya di sudut terdalam pada otakku. Seringkali bila melihat bayangan diri ditempa matahari, memori itu mencuat. Mencoba mengusik hati yang telah memutuskan untuk merebahkan tangkup, dan melepaskanmu perlahan.
Sulit, ini memang sulit, bahkan sampai sekarang. Terlebih bisik yang menyamar diam begitu meramaikan malam.
Kita sudah berada di ambang batas angan.
Kau menuju pegunungan tempat kelahiran.
Aku menuju arah sebaliknya, meraih awan.
Sampai jumpa ketika kita bersua nantinya. Tuhan memang maha segalanya, termasuk dalam hal bercanda,
dan membalikkan keadaan, secepat kilatan cahaya.

Sabtu, Juli 27

Fix You

Di sebuah senja, aku memang sengaja menunggu sapa dan datangmu. Tanpa melanggar adat yang berlaku, sebagai seorang wanita yang memang layak dihampiri terlebih dulu. Senja itu indah, banyak dedaunan turun bagai musim gugur. Cokelat dan kuning. Seperti warna kesukaanku.
Lalu, saat itu, rahasia perlahan jatuh di antara dedaunan.
Apakah kau juga merasakan betapa sangat terhubungnya kita? Hingga dua gelas lychee tea yang kau beri untukku habis tak bersisa. Ketika bersama mencari kebenaran pada masing-masing mata.
Kau bilang 'You had me at hello'
Kubilang ini 'Serendipity'
Saat kita sama-sama tak berharap apapun terjadi. Di luar hujan bergelontor hebat. Mengalahkan alunan tembang yang kita putar saat itu.
And the tears come streaming down your face/ When you lose something you can't replace/ When you love someone, but it goes to waste/ Could it be worse?
Lights will guide you home/ And ignite your bones/ And I will try to fix you
you had me at hello = the guy fell in love with you when he first said hello (http://www.advicenators.com/) serendipity = a "happy accident" or "pleasant surprise"; a fortunate mistake(?). Specifically, the accident of finding something good or useful while not specifically searching for it. (Wiki)

Senin, Juli 15

Dahulu dan Kini; Kisah Perjuangan yang Berakhir Begitu Saja

Aku pernah berkisah dalam sebuah ruang maya, dibaca oleh ratusan pasang mata dan hanya beberapa yang meninggalkan kesan baik dibawahnya. Mereka yang mungkin tahu betapa aku menulisnya dengan penuh cinta, saat satu tahun bersama orang yang hingga hampir lima tahun mengisi kisah dalam beragam balutan nada hidup.
Dahulu: Ini tentang sebuah catatan cinta. Tentang harumnya nektar mawar yang wangi dari vasnya. Sepenggal cerita dari dua anak adam.
Kini: Ini tentang sebuah catatan rekahan sayap yang patah. Tentang menyayatnya sengatan lebah yang marah dari sarangnya. Segelintir kisah yang rumit.
Dahulu: Hari itu, saat beberapa bagian otak tersita untuk berlembar2 ilmu, ada yg berulang. Sebuah bulan yg sama, rintik hujan yg sama. Dan sebuah angka yg sama, dua puluh enam.
Kini: Hari itu, saat hujan tak datang dan panas tak menyengat, ada yang menyambar. Sebuah tanggal yang tiap bulannya akan menjadi sejarah perjuangan kasih. Angka yang (tetap) sama, dua puluh enam.
Dahulu: Kini dapat kurasakan benar harumnya mawar itu, nikmatnya berlari di bawah hujan dan tidak lagi bernaung. Dia, kini dia telah lepas dari jerat yg mengikat. Dia, kini sudah bisa kujangkau dan terasa lebih dekat.
Kini: Sekarang dapat kurasakan benar kejamnya aksara, yang merangkak angkuh dari suara yang tak pernah kuharap darinya terucap. Dia, kini tak bisa lagi kugamit dengan penuh sayang.
Dahulu: Kurang lebih dua belas purnama silam, kami menganyam. Sebuah ikrar untuk dapat berjalan beriringan, tak lagi sendirian. Meretas mimpi yang semakin bening pertanda terwujudkan.
Kini: Sudah lima puluh enam purnama sejak tahun 2008. Janji yang telontar, kita jalani bersama atau tidak sama sekali.
Dahulu: Terimakasih, untuk harumnya mawar yg kau sebar, untuk gerimis terindah yg pernah kudapat.
Kini: Terimakasih untuk saat yang sangat tepat untuk berpisah. Di tanggal yang sama saat pertama kali kita mengerti bahwa dunia ini pun indah bila dilihat dari sisi sebelah kiri.
Dahulu: Selamat dua belas purnama di dua puluh enam. Tempat, waktu dan suasana telah kita jemput di beberapa saat yg lalu, sambil menikmati keindahan malam di titik daerah yg sakral. Dalam hati aku berujar, "tidak ada yg bisa mengalahkan indahnya malam ini, genapnya dua belas purnama kami. ." masih dalam lamun dan diam, aku menggenggam tangan dari pria yg kusebut kekasih.
Kini: Selamat lima puluh enam. Hari itu akan menjadi sejarah, tentu tidak akan kulupakan. Karena bersamamu selama hampir bulat lima tahun, menjadi bagian indah sekaligus perih yang pernah kulalui. Terimakasih sudah mengawal perjalanan panjang ini. Perjalanan terpenting dari masa-masa kuliah. Perjalanan tersulit saat harus berpisah tanpa memutus silaturahmi. Perjuangan memberi pengertian pada yang lain bahwa terkadang waktu yang lama tak menjamin kisah cinta berakhir bahagia. Bisa juga duka dan lara. Sedih juga merintih.
Someday, i can say to myself: My scar has a way to remind me that the past is real. They counted on the humans to hide, give up and fail. They never considered our ability to stand, endure, that we would rise to the challenge(of love).
Goodbye to you, goodbye to everything that i thought i knew. God bless your future life. And i've decided to moving on. It sounds like cheesy-romantic-novels, just because the past hurt, doesn't mean it's gonna happen again when you open your heart again to the next, right?
Quotes from: Hanibal Lecter-Red Dragon movie. Raleigh Becket-Pacific Rim movie.

Rabu, Juni 12

Kau Tak Pernah Suka dengan Hujan

Bila sore ini ternyata hujan, maka aku harus bersiap menghadapi temarammu sampai tanah kembali kering. Lalu spontan aku membayangkan adegan dalam sebuah drama, pengetahuanku sempit tentang drama yang kebanyakan orang sukai sekarang, drama korea. Gadis yang kebingungan ketika sang lelaki muram karena hujan. Namun, dengan manisnya ia mampu membuatnya tersenyum. Entah, rasanya penglihatanku menangkap sesuatu yang magis saat si wanita sontak meruntuhkan durja sang lelaki. Tapi semua itu tidak lebih dari adegan berdasarkan script, bukan? Sayangnya, yang aku hadapi ini skenario Tuhan yang tidak akan pernah bisa ditebak alurnya.
Kau mewarisi sifat tegas ayahmu, dan sedikit dari ibumu. Rahangmu menampakkan aura yang kuat, namun ada kelembutan yang kau warisi dari wanita yang melahirkanmu itu. Kau punya mimpi-mimpi yang ingin kau kejar meski tak seorangpun tahu. Kau tahu hidup tidak akan berjalan semulus rencana, akan tetapi kau percaya pada hidup yang telah mengajarkanmu arti ikhlas untuk terus mencoba. Persis ketika kau sangat ingin makan di tempat favoritmu, namun ternyata toko itu mendadak berhenti melayani pelanggannya. Bangkrut.
“Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya.” ― Dee, Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade

Senin, Mei 13

Kapan Kita Mengayun Sampan Lagi?

Satu waktu di padatnya jalan menuju ibukota, akhirnya aku memutuskan untuk termangu. Menghemat baterai ponsel yang sekarat, merasakan tubuh yang seperti mau rontok. Entahlah, mungkin dengan memandang sekeliling akan bisa membunuh waktu sehingga tempat tujuan hanya tinggal beberapa jengkal. Sialnya tidak.
Dalam pengamatan sekeliling, kembali aku teringat kamu. Kita. Yang entah mengapa aku merasa banyak sekali perbedaan, namun perjuangan untuk sampai dengan saat sekarang ini tidak mudah. Semuanya hanya mengalir memang, tapi seringkali aku berhadapan dengan pikiranku sendiri.
Mind you can't understand 'cause you'll play against you.
Hanya ada di pikiran dan batin tapi tak pernah tersampaikan. Aku paling benci dengan hobi memendamku ini, tetapi terkadang aku senang karena aku hanya akan mengikuti alurnya saja tanpa merasa khawatir dengan konsekuensi dari hal terpendam yang akhirnya terkuak. Namun, seringkali aku ingin sekali menyampaikannya padamu.
Bukankah kita selalu saja berencana, apapun, tanpa tahu kapan hal tersebut akan terjadi. Yang aku tahu selama ini pasti akan kulalui fase yang membahagiakan itu, namun aku masih begitu khawatir dengan yang kita rangkai sekarang. Doing nothing, just waiting. For everything.
Sampan sudah lama berhenti hanya di tempat ini. Tidak maju, tidak juga lantas mau mundur.
Kapan akan kita ayun lagi, you might wonder?

Kamis, Mei 9

Halo, lagi.

Pernahkah kau pahami, bahwa jiwa yang dipenuhi ambisi terkadang hanya mendapat ampas tahi. Seperti aku yang telah lama pergi dari sini, ya, setelah sekian lama merakit masa depan, toh kegagalan kembali membawa kita pulang. Dan mengingat segala yang pernah banyak mengisi. Seperti tulisan ini yang akhirnya muncul setelah lama hibernasi, dari sekelumit ambisi yang tidak pernah padam (akhirnya kini perlahan meredup).
Aku berpindah dari satu tempat ke lainnya. Yang dulu punya banyak sarang kenangan, kini kutinggalkan. Namun, aku masih punya ambisi yang suka pasang surut bergantian. Kini, aku punya tempat baru untuk merangkai kembali ambisi, meski merogoh kocek lebih dalam dan merepotkan orangtua, namun aku masih punya harap untuk membiayai segalanya sendiri.
Banyak perjalanan selama aku tak di sini, kereta, gedung asing dan rumah singgah. Semua punya cerita.
Dan mungkin akan satu per satu aku ceritakan, bila aku tidak lupa. Semoga ini jadi awal yang indah untuk kelangsungan minat menulisku.
Halo, lagi :)

Senin, Februari 25

Luruh, hilang.

Ada yang mengalir di pelupuk mataku, ketika temu tak seindah lamun. Ngilu.
Lalu tidak ada lagi riuh rendah degup jantung, seketika berganti dengan bahagia yang luruh bersama angin.
Kau tidak membawa harapan yang terbayang, kau hanya membawa ruh yang tak sepenuhnya disini.