Minggu, Desember 30

Waktu yang Tepat (?) untuk Berpisah

Aroma oli ini sudah sangat melekat pada besi-besi yang terbiasa mengangkut ratusan orang sejauh 512 kilometer. Keriaan pagi, siang dan malam, gesekan roda koper dengan lantai berdebu, langkah kaki terburu, aku belum begitu menyatu dengan ini semua. Namun, yang kuingat hanya memori khasnya, perjumpaan dan perpisahan.
Ada satu istilah dari sebuah bahasa asing, bahasa Perancis, yang selalu mengusikku ketika berada di tempat bernama stasiun. Entah mengapa tajam pesonanya mengakar kuat pada daya pikir ini:
Au revoir
A farewell remark
They said their good-byes
Untuk sebuah istilah kau butuh arti sebenarnya. Untuk sebuah hal asing kau butuh memaknai untuk mengenalnya dan terbiasa.
Entah apa perasaan ini. Ketika lambaian tanganmu mengayun, senyum kecilmu seolah berkata "Au Revoir"
Dalam gerbong ke-5 ini, jiwaku terasa terbang bersama senyummu. Kau telah memecahkan semarak kegembiraan ini. Menjadi lamun yang serbuknya seperti ingin tinggal menetap di belantara hati. Aku ingin tahu, apa yang kau pikir ketika kedua lambai saling balas. Dua bibir berbeda saling lempar senyum, seolah segala kekhawatiran luruh bersama lontarannya. Namun, kau telah mencabikkan ragam penasaran. Kau sedih, kau biasa saja, kau berharap aku cepat kembali, atau lebih baik pergilah yang lama.
Entah apa yang ada di benakmu saat itu. Kau telah berhasil menghamburkanku layaknya serpihan kertas, diremas dengan marah.
Beberapa menit kemudian mata ini memilih pejam. Di dalamnya aku merasa nyaman. Dalam pejam aku rasa tak ada yang patut dikhawatirkan. Karena saat itu segala getir tergerogoti riang. Segala sendu berganti lagu syahdu. Sebuah perpisahan akhirnya berujung pada pelukan sayang.
Semua hanya masalah pikirmu. Meski kau merasakan sepi, tergantung bagaimana ia mengubahnya menjadi pesta dalam khayalmu. Meski kau sendiri, kau masih punya angry birds. Jika sewaktu-waktu kau pergi, kau hanya harus ingat untuk kembali. Begitu katanya dalam pejam.
Pejam ini begitu nikmat. Aku sontak lupa pada istilah di awal tulisan ini. Sebuah asing berbentuk Au Revoir.
Semua masih sama, lagu kita, ritme nafasnya, dan meski aku tak berkata apapun. Pasti kau tahu aku ingin kau cepat kembali. Hanya saja di sudut jalan itu aku membuang nafas panjang mendapati sebuah kenyataan bahwa aku harus kembali melepasmu.
Gerimis penghujung tahun, 30 Desember 2012.

Senin, Oktober 29

Kealpaan

Mungkin saat ini kau sedang menyusuri keriaanmu disana. Mungkin tidurmu kini telah nyenyak. Mungkin kau lupa, ada satu sore yang telah kau lewatkan. Hari itu tak akan kembali lagi. Kau tak bisa mengulangi. Kau tak bisa memohon Tuhan untuk ego yang kau bikin sendiri. Aku selalu kagum pada detik yang tak pernah lelah berdenting. Bagiku, teramat berharga bunyinya, bahkan arti di dalamnya. Atas nama alam dan segala isinya, kau menyiakan sore itu dan merugilah masamu. Anggap saja saat menulis ini aku marah pada alpamu. Aku menunggu hingga terbenam surya di pelupuk mata. Berkali-kali kutengok tak ada tanda. Kau ingkar, lagi, pada janji yang kau buat sendiri.

Kamis, September 6

Dear

Dear, Rocky

Waktu berlalu cepat dan langkah demi langkah menuju kebaikan semakin rapat. Walau aku tak bisa membaca keseluruhan arah, namun segala harap dan ingin tentu baik bagimu.

Rasanya baru kemarin kita bertemu, ternyata hitungan tahun menyadarkanku. Kita semakin bertambah usia, mulai perduli pada hari yang belum tentu bisa dipijak.

Lanjutkan perjuanganmu. Kita pasti bisa!

Lots of 💚

Kamis, Agustus 16

Senin, Agustus 13

Perbedaan Senyawa

Mungkin saat ini kau sedang terbang disekitar pelangi. Empat lingkar merah kuning hijau biru. Bubuk pasirnya berwarna ungu. Bila dirasa membuatmu tersenyum lucu.
Sungguh, bila membayangkannya aku tertawa. Sayang, itu tidak nyata. Hal yang mustahil terjadi pada kita. Bahkan, untuk mengenangmu saja rasanya akan boros airmata. Kita, dua raga yang terpisah bermil-mil jauhnya. Dua jiwa dengan perasaan tak sejalan.
Jadi, apalagi yang akan jadi alasan? Pelangi. Senyum. Langit. Semuanya telah kucoba. Kita dua senyawa berbeda. Tak lantas bisa bersama.

Minggu, Agustus 12

Siluet Senja Kini tinggal Cerita.

Seperti yang pernah kubilang, aku dan kau, mentari dan nyiur pohon kelapa yang membentuk siluet senja.
Tak seperti sore biasanya, kali ini mendung, kau tertutup seluruh tubuh awan dan tak kelihatan. Aku mengaduk-aduk angin semampuku, mencoba mengusir angkuhnya balon seputih kapas itu. Hingga kelelahan aku hentikan. Usahaku sia-sia saja. Hari ini kita gagal membentuk siluet senja. Ada yang hilang dari rutinitasku. Kesenanganku direnggut awan sombong tak berperasaan, kejam.
Hari berikutnya kembali kutelan kecewa. Kau tak muncul juga, langit berkuasa penuh menyembunyikanmu dengan gelontor riuh air hujan. Aku hanya bisa merunduk mengikuti gravitasi air yang mengalir ke seluruhku. Dingin. Menggigil. Rindu.
Ini hanya masalah waktu, begitupun musim tak menentu. Apa dayaku menginginkanmu yang berada jauh diatas sana. Sepertinya bentukan siluet senja kita tak lagi bermakna, namun tidak bagiku. Sampai kini aku hanya bisa hidup terpejam. Karena melalui itu aku dapat membayangkan sebuah siluet senja yang indah, dari pendarmu dan bentukku. Hanya lewat itu saja, tak lantas jadi nyata.
Tadi malam aku rasakan sakit luar biasa. Seperti ada banyak cakaran di tubuh tak henti-henti. Paginya, kulihat tubuh ini tersungkur tak berdaya. Dikuliti, ditumpuk dan diikat jadi satu, lantas dibawa ke sudut dapur. Aku menjadi abu, nantinya.
Sorenya, dengan santunnya kau muncul. Aku hanya bisa melihat dari ventilasi yang memantul pendarmu ksalah satu dinding. Indah.
Ternyata, sebuah siluet senja itu tidak dapat bertahan lama. Kini tidak lagi bermakna. Kita dapat lebih dekat dan rapat, karena abu bisa terbang kemana saja ditempa angin. Hanya saja tidak ada lagi siluet antara kita, senja kembali sepi. Mungkin siluet lain sebentar lagi menggantikan hadirku.
Sampai jumpa, aku menunggu angin yang tak kunjung menerbangkan ragaku. Hanya helaan nafasnya yang membebaskanku dari sepi dan bisu. Sendiri tanpamu. Rindu. Sebuah siluet senja, kini hanya sebuah dongeng perih tak terelakkan.

Perjuangan Itupun Mengunduh Hasilnya

Tidak peduli dengan sengatan sakit yang bertubi kau rasakan. Dinginnya cuaca yang menusuk tulang belulang. Dengan setia, kau terus pantau dengan tajam beribu huruf yang membentang.
Sayangnya, aku jarang berada di sisimu. Jika saja satu atap menakdirkan, segelas teh bercampur lemon tersedia untukmu. Kubuat dengan campuran kasih sayang. Untukmu yang tengah berjuang.
Demi sebuah gelar ideal bagi seseorang, tak kau katupkan sedikitpun mata itu, tak kau istirahatkan bahu yang terus ditempa ngilu. Kau mantap berlari, mengejar apa yang disebut akhir.
Aku tak pernah bisa memberi apapun disela perjuanganmu, hanya seucap kata semangat yang telontar. Kuharap, energimu akan terisi penuh sampai kau rasa sudah saatnya berhenti. Dengan idealisme dan paham tentang kepunyaanmu, kuyakin tidak ada yang bisa membantah. Tak seorangpun.
Disini, jujur aku iri. Mengapa tak bisa sepertimu? Semestinya aku serap ilmu dan semangatmu, tapi hal ini berbeda. Aku tak punya apapun, bahkan daya untuk menangkal hal yang tak sejalan denganku. Aku ingin bisa setangguh kamu. Tapi, nyatanya jalan cerita kita lain. Meski begitu, tak henti aku hempaskan iri itu. Aku tak mau mengganggu konsentrasimu. Kau yang sebentar lagi semakin maju, pasti akan menabuh gema kelegaan.
Tiba saatnya hari dimana kau berkata, SELESAI! Tidak bisa kugambarkan perasaan itu selain mengucap selamat kepadamu. Akhirnya, ksatria yang nyaris menyerahpun mengunduh hasilnya. Sebuah perjuangan dari hati. Tak lekas menyerah pada amarah. Perjuangan itupun membuahkan hasil yang baik.

Jumat, Agustus 10

Dia mentari. Aku nyiur pohon kelapa. Kami melahirkan siluet senja.

Raga dan rasa

Masih ada jarak tercipta antara raga yang saling bersandar dan hati yang saling memiliki. Hanya rasa yang mengerti.

Miapah?

Miapah? Mengapa judulnya demikian? Aduh, kenapa bahasaku jadi akademis gini? Oh, mungkin terlalu lama aku kesampingkan bahasa 'renyah'. Baiklah, miapah adalah 'demi apa' yang terinspirasi dari salah satu orang yang saya follow di Twitter. Pertama kali membacanya, langsung kecantol aja dikepala. Miapah?
Miapah? Pertemuan terakhir dengan anak-anak KKN kemarin berawal dari banyaknya adik angkatan yang posting pengalaman mereka selama KKN di situs microblogging ternama. Sontak, langsung terbayang kamar mandi yang bisa diintip dari luar, airnya yang terkadang lumutan karena sumbernya dari Goa Creme dan house music 'tarakdungdes' yang selalu diputar mas Ari, anak Pak Dukuh yang kabarnya sebentar lagi akan menikah!
Waktu melalui semua rutinitas KKN, rasanya ingin cepat-cepat dua bulan itu berlalu. Hari pertama sampai kesepuluh, belum terasa membosankan karena padat jadwal. Mulai memasuki minggu kedua, semuanya terasa berbeda. Bosan. Untunglah, jarak Selopamioro dengan kota Jogja hanya 45 menit lamanya. Jadi, patjar suka jemput bolak-balik. Baik sekali, ya!
Nah, setelah sebulan, waktu menulis laporan mulai diabaikan, imbasnya ya di minggu terakhir kami disana, semalaman nggak tidur hanya untuk kebut! Alhasil, tempe goreng, sirup ABC buatan Genduk (salah satu anak KKN dari Fakultas Peternakan) jadi oase ditengah kesibukan. Siangnya, sirup itu tetap ditenggak meski....bulan puasa. Ya, anak KKN putra semuanya dari Teknik Mesin, dan mereka suka tidak menjalankan ibadah wajib dengan alasan, "Harus kerja keras biar BIOGAS kita cadas!" begitu selalu.
Satu kode yang hingga kini hanya subunit kami yang tahu, yaitu "Beli pipa.." yang artinya makan mie ayam di dekat Bendungan. Lagi-lagi saat itu bulan suci Ramadhan penuh berkah, tapi kami serempak tidak mengindahkannya. Jangan ditiru, yaa. Demi kebaikan akhirat kalian o:)
Hari-hari setelah semuanya berujung pada selesainya seluruh program, kami mulai bingung dengan kegiatan yang hanya tidur-tiduran di kamar. Bahkan, untuk mengajar ngaji anak mushola depan pun kami malas. Sampai pada hari dimana seluruh tas bawaan teronggok rapi di depan rumah Pak Papin, pak dukuh yang kami tumpangi kediamannya. Berat, iya berat meninggalkan. Senang? Emm, ada senangnya juga akhirnya semua berakhir dengan indah dengan jaminan nilai A. Tapi, wajah-wajah anak SD, pengajian dan jathilan kampung membuat kami sedih. Sudah telanjur berlinang. Mereka kehilangan kami, walaupun hanya dua bulan kami singgah. Sungguh, selama kami disana mereka bagai keluarga. Segala macam sayur mayur hingga daging sapi tak jarang mampir ke pondokan kami. Akhirnya, kami harus pergi.
Tuh, jadi nostalgia KKN. Ini semua karena buka bersama akhir bulan kemarin. Kalian, walau kadang mengesalkan, akan tetapi meninggalkan kesan dalam jadi bagian petualangan. Terimakasih kakaen!
Tahukah kalian walau saat KKN berjalan ada bagian selayaknya neraka, tapi saat mengenang itu semua dikemudian hari kalian bisa saja ingin mengulangi.
Jadi, gimana cerita pengabdian masyarakatmu? Miapah? Seru?

Sabtu, Juli 14

Potongan

Ini potongan adegan nyata yang akan selalu bercokol di memori. Aku. Kamu. Tak ada titik. Tak berbatas. Tak berjarak.

Selasa, Juni 19

Hari Menabung Asa

A
ku isi lembar ini menerawang jauh ke 3 tahun silam. Dimana setiap dering ponsel itu menyadap sensor otakku, sejurus aku penasaran apakah itu kamu? Setiap hari kuendapkan rasa bahagia ini, biarlah menumpuk dalam-dalam agar tak seorangpun tahu kalau aku, JATUH CINTA. Kini, aku selalu menunggu untuk bahagia itu akhirnya datang. Harap ini selalu, jejak hati dan kakimu menuju padaku. Terkadang lamun ini menghadirkan sebuah pertanyaan? "Rasa inikah yang menyebabkanku gila? Apa kau tertular virusnya juga?" Untukku, mungkin saja jawabannya 'iya'. Karena itulah satu-satunya yang melegakan hatiku.
Malam ini tak kudengar bunyi dering ponsel, tak seperti biasa. Kau mungkin sedang tak kuasa untuk berbagi rasa. Atau kemarau menghampiri sehingga kerontangnya membuat kelu. Ah, meski kini kau kemarau, kau selalu jadi musim terbaik hingga ujung waktu. Tapi, aku selalu khawatir, kalau kau tetiba mengubah haluan. Berbelok di persimpangan dan tak kembali pulang. Humn, aku yang terlalu bangga menganggap bahwa akulah jalan pulangmu. Kaulah pejalan kaki yang menambatkannya padaku.
Aku bermain dengan rasaku sendiri. Menari dengan asa harapan, buah dari kecintaan. Mungkin tidak sekarang. Atau kelak bahagia akan datang. Sesegera mungkin dia hadirkan sebuah senyuman. Atau bahkan tidak sama sekali ia berikan. Tidak masalah.
Aku. Masih. Tetap. Hidup. Dalam. Sisiku. Sebagai. Jalan. Pulang. Milik. Siapapun. Yang. Ingin. Bersenandung. Denganku. Titik.

Rabu, Juni 6

Si Kembar

Obat dan cinta itu ibarat anak kembar berbeda nasib. Sama-sama miliki rendah dan tingginya dosis. Seperti hidup. Seperti rindu. Seperti nasib juga yang berbeda bentangannya. Selamat malam.

Merebah Tangkup Dua Arah.

Lalu mau apalagi? Bila hendak kau paksa hingga kapanpun bila tak bersatu, maka tetaplah tercerai. Lalu mau apalagi? Hal sulit dalam hidup kata orang itu memulai, mempertahankan jua. Mungkin maksudnya bila melepas itu semudah menggenggam pasir yang lama kelamaan akan hilang dengan sendirinya. Lalu kita ini apa? Kalau sekarang telah berbeda, mestinya tak ada lagi yang harus dipaksa. Merebah di tanah, menangkup jalan dua arah. Terpisah.

Juni yang Redup Hati

Tahun ini sudah memasuki Juni. Bulan dimana hari bahagia itu banyak datang. Ulang tahun, perjumpaan sampai berpisah kembali.
Juni ini akan ada banyak cerita meski baru menginjak awalnya. Kalau dulu saya pernah berceloteh tentang penghalau angin, kini mungkin istilah itu banyak berubah. Penghalau hujan. Karena tadi siang hujan lebat sekali. Dia membawa angin dari barat, berdampak pada hembusan tak adil yang menempa siapa saja yang jalan berlawanan.
Di setiap bulannya memang kita harus punya rencana, jadi tidak ada salahnya kalau Juni ini juga penuh dengan daftarnya. Hari ke-16 Ibu merayakan ulangtahun yang kesekian (tak ingat pasti), hari ke-18 ayah menyusul (walau jelas ayah lebih tua enam tahun) dan hari ke- 28 adik pertama saya nimbrung. Juni ini hari bahagia bagi keluarga. November tak kalah semaraknya, tapi kita bicarakan yang sekarang saja, karena optimis itu pasti kenyataan itu yang tidak bisa tertebak. Selamat sebelumnya untuk ketiga bagian hidup saya, mereka yang membuat saya sadar sejauh ini bahwa tidak ada tempat ternyaman selain kembali kerumah.
Ini baru awal Juni, tetapi ancaman setiap pagi adalah melihat buku-buku tebal berserakan. Agaknya sedikit mengganggu, namun boneka diantaranya seolah bicara, "jangan singkirkan teman-teman berlembarku ini."
Juni kalau besok ada cerita lagi bolehlah kau bagi lagi. Terang saja, mungkin hati ini sedikit redup di awal Juni ini. Entah mengapa hanya karena percakapan yang tak mengena saja, hati bisa sangat tangkas menangkap sinyal tak sedap. Nah, saya tak tahu pasti apa nyang terjadi 2 hari atau seminggu lagi, jelasnya sekarang ini hati sedang manja. Sentimentil dibuatnya. Sampai jumpa di Juni lagi. Semoga saya tak lagi bandel menulis. Hidup SPOK, EYD dan teman-teman sepermainan, seperjuangan.

Kamis, Mei 24

Lelah

Malam ini aku merasa terlalu lelah.
Aku tak sanggup lagi mengolah apa yang banyak terpampang di layar 14 inchi ini.
Apalagi yang bisa menjadi semangatku? Haruskah kusibak semangat yang baru?
Aku lelah bahkan ketika bernafas.
Aku lelah berpikir tentang tak selesainya ini.
Aku lelah untuk merasakan kembali sayatan di Agustus dan November nanti, karena aku tak mungkin bisa mengejarnya.
Aku lelah.
Aku siap untuk melangkah. Kebalik kelambu untuk kembali sendu.

Sabtu, Mei 5

Kau Tak Datang

Gelontor hujan maha-dahsyat malam ini tak menghalangiku untuk bertemu.
Sambaran petir tidak menggentarkan niatan agar bisa sebentar saja memelukmu dibalik hujan.
Ketahanan mata ini tak dapat menandingi lampu taman yang kuat hingga dua tahunan. Sesungguhnya, orang lain pasti akan lebih memilih untuk berbaring di ranjang. Bukan berperang dengan hujan juga ketidakpastian.
Berbekal optimisme, tusukan rindu dan keinginan kuat untuk melihat wajahmu aku berpacu.
Dingin sekali. Dua jam disini.
Tengokan ini tidak berbuah apa-apa hingga menit ketiga-puluh selanjutnya.
Pesta telah usai. Kumasih disini. Berkawan angin malam. Kau tak datang.

Rindukanlah Diriku

Sekarang kita bisa apa? Aku dan kamu adalah dua yang coba menjadi satu. Kita dua yang sama sekali berbeda. Kau hiperbola dan aku metafor. Mungkin aku dan kamu beberapa kali mencoba mencocokan beda. Namun itu terlalu sulit. Tak bisa masuk bila dipaksakan. Lantas kita bisa apa? Kita merupakan kata serumit ujian verbal. Kau harus berbekal material yang berhubungan agar bisa menjelaskan.
Aku, Kamu, Tak lantas jadi kita. Tertiup. Terbang. Lalu hilang.
Rindukanlah diriku, selagi punya waktu.

Selasa, April 24

Suatu Senja

Kau sayang padaku?
Tentu. Haruskah aku katakan itu setiap hari. Layaknya anak remaja yang baru menjalin cinta saja.
Terkadang untuk merasakan muda kita butuh belajar dari anak remaja.
Baik. Tapi aku mau katakan padamu jika kita bertemu, biar semua orang tahu dan kau malu.
Lalu kau berharap aku tidak lagi menginginkanmu mengatakannya lagi?
Kau selalu melumat habis isi pikiranku.
Kau ingat cat rumah yang selalu kita dambakan untuk warna masa depan?
Aku cuma ingin putih dan abu-abu. Kau mau warna coklat seperti Casa Grande. Hahaha.
Kau ingat saat kita ke toko buku dan melihat interior kamar mandi juga dapur?
Kau saat itu berdecak kagum, bagaimana bisa kamar mandi sejelek ini bisa berubah maha sadis apiknya. Kitchen set yang kau ingin warna putih dengan jendela terjajar di seberangnya.
Kau selalu ingat detil kita ya.
Bagaimana tidak, dari dulu aku menginginkanmu.
Sekarang?
Aku tak tahu. Kau buat aku jatuh terlalu dalam. Kau buat aku bingung bukan kepalang.
Kau tak mau buat rumah dengan tangga yang kau tunjuk di toko buku yang sama?
Aku mau, hanya bersamamu.
Kalau begitu sisihkan pendapatanmu, nanti aku belikan rak buku untuk bawahnya.
Beli semua itu dan ambillah hatiku juga jika kau mau.
Aku tak mau hatimu, aku hanya mau memiliki seluruhmu.

Minggu, April 15

#kesekian

Kalau kau tahu rasanya dijejal, itulah yang aku rasakan. Tidakkah kau tahu orang itu berbeda paham?

Kalau kau terus menjejal, kau ganggu sebuah tatanan. Hilang makna ketentraman.

Kalau kau terus menjejal, kau buat aku terus gencarkan prasangka.

Kalau kau terus menjejal, memangnya kau tak kasihan pada tatananmu sendiri?

Kalau kau akan tetap menjejal, mungkin saat itu aku harus berserah. Nikmati sesukamu. Kau mau apakan tatananku.

Untuk suatu saat nanti. Kalau aku tak bisa lagi tahan.

Kalau Sudah Datang

Kalau sudah datang kabut, kita baru bisa merasakan ketegaran bersanding sepi.

Kalau sudah datang badai, kita baru sadar bahwa selama waktu berjalan kita selalu berpegangan.

Kalau sudah datang hujan, kita baru bisa tahu dalamnya rindu ini.

Kalau sudah datang malam, aku baru tahu kalau tangis itu adiktif.

Aksara

Ada aksara memilih untuk hening, tidak penuhi haknya untuk terangkai dengan lainnya.

Aksara itu jatuh tepat di sayatan luka. Merembes kedalam aliran darah. Terbawa oksigen dengan kegemarannya berjalan-jalan ke segala penjuru cabangan.

Aksara tak tahan dipermainkan, ia berontak. Memohon pada bulan agar dikeluarkan dan digunakan semestinya.

Bulan mendengarnya, aksara keluar, pecah berkeping-keping. Menjalar ke sisi-sisi kesedihan. Muram.

Susah payah ia merangkai maknanya yang hilang, bila tanpa keutuhan, mustahil ia menjadi sebuah pemahaman.

Lama, hanya telinganya yang belum dipersatukan. Ia tak bisa mendengarkan. Lembah duka memperlambat pemaknaannya.

Telinganya ada disisi kegembiraan, untuk memulainya ia harus tembus dinding ratusan milimeter tebalnya. Tak kuasa ia mohon kembali pada bulan.

Bulan menangis melihatnya, namun ia tak bisa memberi untuk kedua kali. Cukup darinya, aksara telah peroleh semuanya, hanya satu usaha saja yang belum bisa dicapainya. Menembus pendengaran untuk bisa paham.

Aksara mengatup. Menunduk dalam.

Kini ia merasakan betul sulitnya mendapatkan sebuah pengertian. Utuh.

Aksara terus berjalan, mencoba menelusuri bagian yang lain untuk dapat kejelasan.

Percuma, ia tak dapat apa-apa. Selalu, sebuah tanya menggantung murung. Bayang lalu yang terus ia pertanyakan.

Bila saatnya nanti ia sudah tak tahan. Mungkin itulah akhir dari petualangannya mencari pemahaman.

Takdir mengutusnya untuk mencari reinkarnasi pemahaman lain. Tidak lebih tetapi melegakan. Setidaknya, ia menjadi paham.

Pada akhirnya.

Minggu, April 8

Bunga Tidur

Aku dirantai oleh sebuah kewajiban yang harus dituntaskan. Aku dibelenggu rindu berkilometer jauhnya. Kau dimana? Hendaknya kita menjadi bola kristal bersanding waktu. Yang menggelinding tak peduli apa yang menempa. Kau dimana?

Maukah kau hadir dalam bunga tidur malam ini?

Angin, Karang dan Kanvas

Di mulut pantai itu kau mengucapkan angan-angan. Sebuah harapan datangnya esok yang belum tertebak. Perlahan kau menuju kedalaman airnya, kau isyaratkan sebuah aksara cinta. Kau tiupkan namaku disela gemuruh angin.

Kaosmu yang sudah basah sebagian. Bayanganmu yang lurus ditempa matahari. Lalu kau duduk diatas karang itu. Berpose lucu dengan ekspresi yang datar. Aku menertawakanmu, tapi hatiku tersenyum dan hendak menangis menakuti prasangka yang sering muncul.

Jangan sampai kau hapus dirimu dari hati ini, seperti pelukis yang sesuka hati melapisi warna demi warna diatas kanvas, kemudian tak menghiraukannya lagi.

Minggu, April 1

Minggu, Maret 18

Mulai Gila

Ini ketiga kalinya aku berada diruang tunggu menanti prosesi besi bersayap itu selesai dan siap disinggahi. Aku mendapatkan kesempatan ini lagi, dari keempat keluargaku baru aku yang memecahkan rekor menyinggahi langit tinggi.

Terawangan mataku menangkap sosokmu lagi. Pikiran ini tidak henti terhiaskan wujudmu yang sempurna. Seketika senyum hinggap dan enggan lagi pergi. Aku sempat sebal tadi, tatkala kau ternyata tidak turun mengantar hingga batas toleran, tapi, ah siapa yang tahan.

Mungkin aku membuat semua wanita di dunia ini gemas. Ingin meremasku sampai berubah jadi abu. Mereka ingin merebutmu dari salah satu kebahagiaanku. Hihi. Aku geli sendiri. Masih kuingat tawa yang secara tak sadar lepas kendali ketika kau bercerita perihal banyaknya wanita disekelilingmu. Dan dari situlah timbul pertanyaan yang sewajarnya aku pikirkan, mengapa akhirnya kau menambatkannya padaku? Hmm, aku lihat wanita lainnya begitu berbeda denganku. Eh, aku tidak suka dibanding-bandingkan memang, tapi aku sangat menyukai bila aku yang membandingkan diriku sendiri dengan mereka. Hahahaha!

Aku tak mau berkelit. Ya, hingga kini aku cinta mati padamu! Hahahaha. Sudah, lama-lama aku bisa gila, gila karena mencoba belajar berkelit dengan sempurna setelah aku menuliskan semua ini. Selamat menikmati.

Aku terbang dan awan masih saja mengukir namamu.

STAY

you said, "You caught me 'cause you want me and one day you'll let me go."
"you try to give away a keeper, or keep me 'cause you know you're just so scared to lose.
and you say, "stay."

you say I only hear what I want to.

stay - lisa loeb

Rabu, Februari 22

Kejut

Kejutan tak selalu membahagiakan, bayangkan bila dia suka madu tapi kau beri bunga? Walau sama-sama manis namun magisnya berbeda.

Dendam


Kalau saja dendam menjadi sisi baik dalam hidup ini, mungkin semua orang berkata akulah orang terbaik didunia. Kalau dendam itu cela, julukan apa yang berlaku padaku?

Terlalu Cinta

"Segalanya yang terlalu itu memang tidak baik."

Bagaimana kalau terlalu mencintai? Apakah tak baik pula. Atau hanya berlaku bagi hal-hal yang tidak baik? Tidakkah semua yang berbau cinta itu baik? Atau ada semacam cinta berenergi negatif? Ceritakan padaku.

Quote

"Bila kau ingin satu. jangan ambil dua. Karena satu itu menggenapkan tapi dua melenyapkan."







Mencari Herman, 2004

Pilihan

Kalau kisahmu tergantung di delapan sisi mata dadu dan kau bisa merubahnya sesuka hati, mana yang mau kau pilih? Bulatan satu, dua, tiga, 17 ata 24?

Kamis, Februari 16

God

Dear God,

I keep waiting for snowy rain but it never come yet. You hear me?

Rabu, Februari 15

I just Want to be Happy

She flew in the past (but ruin my now on).

Nothing to do. Just have to smile, hold back the tears. And,


Just walk away, enjoy everytime everywhere.
Why must keep all those thing that may hurt.
Life's like a box of chocolate, we never know, keep walk in that line.
Think that you can do with or without.

I just want to be happy, all day long :D

Senin, Februari 13

Si Pencipta Ceria

Beberapa hari ini serangan detak jantung menggebu menyerangku. Kita begitu dekat tak ada jeda, dua jengkal sudah membuatku panas dingin. Aku curi pandang melihat pipi kirimu, kau serius menatap kedepan. Harusnya kau tahu aku tengah menatapmu sembari tertawa geli dan menunduk, tapi kau tetap menatap kedepan. Optimis sekali.

Kita sudah lama saling mengenal, kita sudah lama menyelami hati masing-masing. Namun ada sisi lain darimu yang sulit aku raba lekat-lekat. Kau adalah kata-kata yang selalu terngiang dari bangun hingga akan tidur. Kau adalah pemenang masa lalu. Kau adalah nada dengan senandung cinta diantaranya. Kau adalah penyelam handal, pembaca pikiran yang cergas. Sementara aku kurang bisa menyelam walau hanya sampai palung hatimu, kapan dasar akan bisa kurengkuh?

Kadang aku cemas, teramat cemas.

Aku tak mau orang lain yang menjagaku. Aku tidak mau tawa ini bukan karenamu. Aku kurang suka bila tangis ini bukan karena berpisah denganmu. Ini hasil selamanku dari permukaan hingga entah. Karena kau tercipta sebagai keceriaanku.

Rabu, Februari 8

Kota Pelangi

Pagi ini, aku menuju kotamu. Kota pelangi yang belakangan ini sering aku pijak lalu kutinggalkan. Jangan lupa janjimu untuk memohon pada Tuhan, jangan pernah hilangkan pelangi dari atasnya. Karena aku datang untuk meminta warna surga, putih sucinya. Kebahagiaan.

Ayah

A father is always making his baby into a little woman. And when she is a woman he turns her back again. - Enid Bagnold

Terburu-buru, pagi memilih temanya sendiri. Sabun yang menyusuri tubuh tak detil, cepat dihempas air dengan kencang. Berkali-kali sudut mata menengok angka sebelas, berharap detik tidak berdetak cepat. Pakaian serobot almari. Bedak bayi dan kunci.

Ini ritual yang tidak bisa ditinggalkan, pamit pada pemilik kunci kendaraan. "Aku pergi.."

"Uhuk, uhuk! " suara dari kamar, kusibak gordyn, lalu aku lihat tubuh lemah berwajah pucat.

"Antarkan ke dokter dulu, ya."

Kau pernah merasakan? Diburu waktu lalu dihadapkan dilema. Ya, kicau burung mungkin paham kala itu. Mereka seperti meledekku, menungguku mengambil prioritas mana yang lebih penting. Padahal keduanya sama-sama tak kalah hebat.

Ujian dan Ayahmu yang sakit.

***

15 menit kemudian sampailah ke klinik sakit kecil yang ditunjuk ayakhu tadi, hanya ada dua orang didalamnya, dokter dan susternya, begitu sederhana. Bahkan pasien lainpun tak ada.

"Sekarang berangkatlah, nanti terlambat!"

Sebenarnya ini sudah sangat terlambat. Sekali lagi aku tengok klinik dan isinya,
"Kenapa harus disini?"

"Karena mereka sederhana, tapi mereka tahu pasti cara mengobatinya. Cepat pergilah."

"Bagaimana ayah pulang kerumah?"

"Dokter itu mau mengantar."

Jadi, apa jawabanmu semestinya? Aku meninggalkan ayahku di klinik yang dokternya mau mengantar pasien pulang. Aku timbang-timbang, ujianku juga penting, jadi haruskah aku meninggalkan ayahku sendiri?
"Tunggu apalagi? Cepat sana.."

"Tapi..." sosok itu berlalu meninggalkan sambil terbatuk.

Dia yang biasanya bersiul dengan lovebird peliharaannya. Yang biasanya mengaduk nasi basi untuk ayam dibelakang rumah. Sekarang berjalan agak tertatih, kalah oleh sakitnya.

Sepanjang perjalanan aku berpikir, mengapa sebelum ini aku tidak begitu peduli padanya? Tidak pernah menanyakan kondisi kesehatannya?

***

Sepulangnya, aku belum melihat tanda-tanda kepulangan ayah. Aku kirim pesan,
"mau dijemput?"

"Sudah sampai masjid, tadi cari becak nggak ada.."

Ternyata dokter itu tidak pernah mengantarnya pulang. Dan angkutan umum mengantarnya hanya sampai ujung jalan, 2 km jarak untuk menempuh rumah dengan jalan kaki.

Aku menangis sambil memacu kendaraanku, menjemput sebelum aku jadi anak tak kenal balas budi.

Minggu, Februari 5

Senja, Hujan dan Angin

Tadi aku sempat melihat senja memancarkan kuning mempesonanya, mendekati orange berpadu dengan gelimang awan yang masih bertabur sedikit putih, menuju malam. Kini tak disangka gelontor lebat hujan meramaikan suasana yang syahdu, aku tertawa, cuaca saja bisa cepat berubah. Apalagi tahun, pergantiannya begitu saja bisa dihitung, satu, dua dan tiga. Seolah satu itu hanya geseran detik saja, padahal satu itu terdiri dari 12 bulan dimana satu bulannya 30 sampai 31 hari.

Cukuplah pelajaran berhitung yang anak kelas dua sekolah dasarpun bisa melakukannya. Hampir 2 jam hujan ini turun lebat,dan selama itulah bayang lelaki mengagumkan itu hadir. Apalagi yang sebenarnya dipikirkan? Segalanya.

Sempat senyum simpul menggoda mengingat ketika pertama kali kami berkenalan, hanya lewat satu memoria saja kami bisa sampai dengan sekarang. Lewat ucapan lebaran yang menghanyutkan kami terus bermain kata hingga tahun ketiga. Dan dengan seloyang pizza dia berhasil mengambil hati saya *sampai sini jangan ada yang tertawa, hati ini begitu murah terdengarya, hanya ditukar dengan seloyang pizza untuk berdua ;;)*

Bahkan seminggu kemudianpun menjadi begitu bermakna, berurai hujan di pelupuk mata, ketika lelaki itu berkata sesuatu, menggetarkan dan membisukan bibir yang sudah berkali-kali mengenyam bangku pendidikan. Karena sabdanya tidak dapat dicerna oleh teori maupun praktek di sekolah. Butuh mengerti pelajaran kehidupan untuk mengendalikan. Iya, dia meminta saya untuk menjadi teman terdekatnya.

Pergolakan batin, kala itu saya masih dalam status yang tidak jelas. Walau masih anak kecil, saya sudah punya pacar 5. Haha! Bukan hal yang patut dibanggakan, namun dari sekian banyak cowok (ya, saya menyebut mereka cowok) hanya satu yang saya anggap sebagai lelaki, dan semoga kelak menjadi pria dan pemimpin yang baik. Saya jawab permohonan lelaki ini dengan bismillah dalam hati :p

Tahun pertama ketika menulis menjadi satu-satunya hal menyenangkan, kutuliskan semua hal tentangnya di semua laman dan jejaring. Tahun kedua menjadi tahun yang sedikit merosot, memang dua menjadi angka yang sudah tak prioritas lagi. Tahun ketiga, hampir lupa dan sedikit ingat celoteh disemua laman yang ada. Ah, tiap tahun memang begitu banyak yang berubah, seperti kataku tadi, bahkan senja yang mencinta sekalipun bisa lesap tergantikan kelam. Walau hanya untuk berubah jadi malam.

Lelakiku, jika bisik ini bisa sampai padamu, terbawa angin dan helai daun yang menjelma menjadi sebuah ruang udara yang berbaris rapi menggantikan alat sesederhana kaleng telepon, aku membisik pelan, untukmu yang sudah cukup mengerti bagaimana aku, selama tiga tahun lebih ini, tak henti-hentinya aku berdoa, jika kelak memang garis kita tak akan terhenti maka aku patut bersyukur, namun jika garis itu tak tahan lagi menggores rapi, tibalah analogi senja berlaku pada kita berdua, jangan pernah berubah. Kisah tak selamanya harus menjadi mimpi buruk yang menjelma menjadi kenangan.

Aku mau menjadi angin ditengah belantara hujan. Dia bisa kapan saja pergi, kapan saja berhembus kemudian hilang. Aku mau menjadi sepertinya dalam bab dapat kapan saja pergi dan berhembus, tidak untuk hilang. Aku mau menari menuju tempatmu kini berdiri, mengajakmu berkelana meraih asa yang tinggi, berakhir dengan jatuh dipelukanmu.

Aku menunggu untuk kita menjadi lebur bahagia.

Sebelumnya, mari kita cari jalan untuk merancang segalanya. Menuntaskan kewajiban yang sudah semestinya. Ingat, kalau aku angin aku akan selalu berada disekitarmu tanpa membuat kau beku. Aku dengan senang hati menghantarkan semua keperluanmu. Sedianya aku membantu. Sebisaku. Jangan pernah kau merasa memikul sendiri bebanmu.

Kini malam sudah berbatas dengan pagi. Saatnya beradu dengan Tuhan, tawar menawar mimpi. Untukmu, kalau aku bisa benar-benar menjadi angin hal yang paling ingin kulakukan adalah terbang mengikuti jarak yang membentangkan kita, sesampainya akan kutatap dalam wajahmu sebelum akhirnya berucap, aku begitu benci jauh darimu.

Rabu, Februari 1

The Present

Just got a special gift from napo, this is a picture of it ♥


Thank you, love. And I'll be in it, the responsible reefer ♥

Thank you, for the awesome designer, Bang Ipul! Good Job, bang <:-D

Celebrating The Day <:-D


Happy cake day, happy bornday, my peluk-able.

I would like to once again wish my dearing, loving a happy happy birthday.
I'm glad to having you around.
*beer*

Kamis, Januari 26

Rasa Disela Bahagia

Hey, kamu yang selalu bisa mematahkan alasanku, yg serentak membuat sekujur tubuhku diam tertawa tak berdaya mendengar celoteh alamimu.

Rasa-rasanya sudah empat kali aku menemani pergantian umurmu. Ah, terasa begitu berbeda, bersama orang yang sama di ulang tahunnya, keempat kalinya, karena menjadi pertama kalinya dalam hidupku, menemani seseorang yang special di pergantian umur keempat kalinya.

Masih aku simpan detil saat kau membuka mata dipagi hari, menguceknya dan melihat teman-temanmu hadir di umurmu yang baru. Itu pertama kalinya. Kali ini, sepertinya aku tak bisa lakukan apa-apa lagi, sudah habis juga ideku, kita sudah sepakat untuk tidak menggunakan kejutan apa untuk ulang tahun kesekian. Yang terpenting, hadir menjadi yang semakin baik sudah jadi hadiah menyenangkan, bukan? :)

Kini benar-benar tak bisa aku ungkap, seberapa dalam dan bertambahnya ini ditiap hari. Selalu ada alasan untuk mengirimkan pesan yang walaupun itu tak penting, karena berbagi denganmu adalah hal istimewa dan adiktif.

Bolehkah? Aku rekatkan sedikit bagian rasa ini ditiap sudut kota pertemuan ini. Aku harap tak akan kehilangan jejaknya.

Tidak ada kata yang dapat mewakilkan rasa yang kau ciptakan, aku tidak mau berlebihan karena kau kurang menyukainya. Aku, mengagumimu lebih dari kau mengidolakan film kesukaanmu. Katakanlah, melancholia, hempasannya sama dengan guncangan dihatiku ketika tatap kita bertemu.

(Selalu saja Melancholia, Kau tahu? Karena itu keren! :D )


Untuk lelaki dihari ke-26, Januari.

Sabtu, Januari 21

Berbenah

Satu lagi umurku berkurang beberapa bulan yang lalu. Merefleksi apa yang sudah kudapat sejauh ini, apa harapan yang terealisasi atau bahkan terendap dalam fikir terdalam.

Banyak janji yang tidak kutepati kemarin, kejelekanku. Pelupa. Ceroboh. Penunda.

Nanti, akan kulakukan sebentar lagi.

Astaga, nggak sengaja.

Oh iyaa, harusnya...

Kini 21 tahun sudah menempel dalam raga bertuan ini. Tidak akan lagi kupinjamkan apapun bagian dari diriku. Karena aku tuan untuk diriku. Berbenah dan merencanakan segala sesuatunya. Mulai dari sekarang.

Minggu, Januari 8

Kalau saja

Kalau saja aku sebuah lagu, kira-kira apa yang akan kau lakukan padaku?

"aku akan menyanyikannya setiap hari ;)"

kalau kau sebuah lagu, aku akan mengulangnya setiap detik di waktu yang kupunya.