Rabu, Januari 27

Nak, lain kali kamu harus menghargai orang. Nggak semua orang bisa kamu usik, sebagian dari mereka akan terganggu.

Nak, jangan pernah kamu memaksa, kalau kamu nggak mau orang lain menyetir hidupmu.

Nak, kamu bisa kan? Kamu sudah terlampau jauh berjalan, kamu harus siap menanggung konsekuensinya.

Kamu sudah besar.

Kamu sudah aku anggap dewasa.

Minggu, Januari 24

Negeri yang Pasi

Malam ini, dengan berbekal tidur sore tadi, saya memilih untuk mulai berkutat dengan benda yang sangat perkasa walau berkali-kali saya pisuhi. Sampai jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tidak terasa. Dari pukul 10 malam tadi, saya memilih untuk ‘jalan-jalan’, merefresh pikiran, berniat untuk napak tilas.

Banyak sekali yang telah saya lewatkan semenjak UAS lalu. Waktu saya banyak tersita di area Gugel dan Wiki saja, sebenarnya tidak betah berlama-lama, namun apa daya banyak yang harus dikebut saat itu.

Sekarang, malam ini, ketika niatan untuk membuka jejaring, mata saya tertuju pada satu nama, yang banyak menyebut dirinya ‘ingkang mbaurekso’. Godaan untuk membuka profilnya kemudian terlaksana, saya sangat mudah tergoda, apalagi dengan yang satu ini. Begitu menggoda. Selanjutnya terserah saya, toh dunia maya di hadapan mata. Profilnya? Ah, untuk apa! Sayang sekali bandwith saya. Satu klik, blog miliknya terbuka, ada link yang mengarah pada blog si empunya.

Sangat berharap ketika membuka blog itu, saya menemukan untaian kata tentang apa yang sedang ia emban yang ternyata tidak lagi jaya seperti masanya dulu. Namun harapan itu nihil! Yang ada hanya cerita, lagi-lagi tentang ilmu yang ia dapat, bukan tentang tanggung jawab yang ia pikul. Ah, bualan. Dan saya merasa tidak tertarik untuk melahapnya sebagai pengantar tidur malam ini, saya tidak memilihnya.

Mata saya kembali tertumbuk pada pesona link yang ada di dalam blog oknum tadi. Yah, sudah lama saya tidak ‘bermain’ disana. Dalam sekali klik, muncul posting yang masih sama dengan terakhir kali saya mampir. Melihat comment-nya masih sama ketika terakhir kali saya meninggalkan pesan. Ah, apa yang terjadi? Mengapa bisa sesepi ini, tidak ada apresiasi.

Akhirnya dengan sedikit geram saya meninggalkan jejak disana,” mari berjalan bersama, tidak sendiri-sendiri tentunya”. Berharap akan ada yang meresponnya, entah itu cacian ataupun bentuk simpati *malang sekali saya minta di kasihani*

Saya kembali berkeluh kesah kepada lelaki pelangi.”Apa yang salah, kisanak?” Mengalirlah obrolan tentang negeri yang tidak lagi memiliki semangat untuk berprestasi. Bersama dengan si lelaki pelangi yang semakin terang saja ronanya, rupanya malam ini kami memilih sesi mengurusi hal yang sebenarnya sudah berulang kali diperbincangkan. Mengapa? Karena sebenarnya ia peduli, sampai akhirnya ia muak dan berkata, “Kenapa aku harus berpusing lagi? Masaku sudah berakhir…”

“Iya memang, bahkan akupun iri dengan masamu yang begitu guyub itu…”

“Sudahlah, lalu apa yang mau dilakukan?”

“No ACTION!”

***


Kemudian saya ingin sekali lupa bahwa saya berada di dalam bagiannya. Negeri yang kini telah pasi. Nyaris mati.

Saya memilih untuk tidur. Besok, saya ada janji dengan lelaki pelangi. Sebelumnya saya berdoa, semoga suatu saat, sebelum semuanya benar-benar berakhir, negeri ini punya masa jaya tersendiri, dengan caranya sendiri.

Lampu utama telah mati, hanya tinggal si redup yang selalu tersenyum walau telah termakan tahun.

Night, world.

Night, love.

Selamat malam negeri yang saya harap mau lagi menggeliat, berkarya dan menggebrak.

Senin, Januari 18

'apa yang akan terjadi kemudian'

aku hanya ingin menghirup aroma hujan itu...
aku tak mau terlalu memikirkan 'apa yang akan terjadi kemudian',
entah perpisahan atau peleburan...
aku hanya ingin menikmatinya bersamamu...
mungkin aku bisa mendapatkan satu hari saja darimu untuk mematuhi apa inginku...
aku ingin kita menikmati derasnya rinai ini dan memperbincangkan harapan,
sebuah percakapan panjang yang melibatkan masing-masing keinginan...
aku harap, kau bisa menggambarkan, bagaimana nantinya masa tua kita di hari yang sama dengan saat ini sepuluh tahun kemudian...
setidaknya aku bisa mulai dari sekarang,
untuk berpegangan pada apa di masa depan...

tolong gambarkan, tolong ceritakan...

apa-apaan ini?

ternyata lagi-lagi aku melanturkan 'apa yang akan terjadi kemudian' itu lagi...

Minggu, Januari 17

Hilangnya si Karakter

Kehilangan. Baru saja saya kehilangan sebuah benda yang amat sangat ingin saya berikan pada seseorang. Ini sungguh terjadi di luar perkiraan. Tidak heran, tiba-tiba segalanya menjadi HITAM dan SURAM.

Seperti kehilangan separuh nyawa hidup. Memang ini tulisan yang berlebihan, kawan. Huft. Tapi saya ingin berbagi, bahwa benda mati tersebut sangat saya idamkan untuk disandingkan dengan benda hidup sesungguhnya. Sebuah karakter kartun nemo yang akan saya berikan pada nemo di aquarium Poochan.

Seseorang berkata ditengah kehilangan,"Anggota sekte yang mulia nemo dari haiti, musuh lama keluarga kerajaan laut Norwegia, karyamu (karakter nemo) dianggap suci nan sakral..."

Saya bilang padanya,"Saya sudah ikhlaskan, tapi tetap saja, sulit untuk sepenuhnya melupakan..."

"Karyamu benar-benar sakral. Makanya di Haiti sekarang gempa 7,3 SR. Karena benda mati yang suci itu adalah penyeimbang antara lautan dan daratan..."

Kenapa Haiti jadi dibawa-bawa? Memang dia paling pintar untuk menghubungkan kejadian satu dengan yang lain. Si cerdas penggembira.

Itu hiburan yang diberikan oleh orang tersebut. Dia bahkan merasa bersalah atas hilangnya karya itu, namun saya berkali-kali bilang, itu bukan salahnya, hanya bumi saja yang belum menjodohkan.

Ada yang menggelitik dari obrolan yang notabene menghibur saya ini,"Karyamu lebih bermanfaat untuk orang banyak... Santo nemo, santo nemo...Nemo yang suci..."

Baiklah, segala upaya yang saya kira tidak akan membuahkan hasil akan saya hempas. Selamat tinggal nemo dan marlin. Semoga kalian memang benar-benar bermanfaat bagi orang banyak.


Sabtu, Januari 16

Sekaten

Alunan musik dangdut yang mengitari kamar ini mengingatkan saya pada sekaten tahun lalu.

Musik dangdut ini saya dapatkan dari seorang ahli bicara. Seorang yang supel dan banyak temannya. Seorang wanita berparas tegas, lincah dan tangkas. Kini saya merindukannya. Kami sudah jarang lagi bersua. Dan lagi jarang berbagi cerita. Mungkin lagi-lagi kepentingan yang berhak untuk buka suara, memisahkan untuk mempertemukan. Suatu saat.

Inilah tempat dimana pertama kalinya kami bermain bersama walau tak menjajal apapun yang disajikan di dalamnya, tempat ketika kami masih sering bersenang-senang bersama. Saya dan mereka. Berlima beramai-ramai memenuhi sekaten yang menjadi hal baru, untuk saya khususnya.

Sebagai penyempurna, ada sosok yang selalu saya rindukan disana. Di tengah-tengah kami ia berdiri, perkasa. Karena sangat tinggi dan berkuasa. Ketika itu, saya sangat bersyukur mendapatkan waktu bersamanya, sulit sekali ketika itu mengagendakan untuk sekedar makan di mana, membeli apa dan berjalan beriringan. Bahkan sempat mengabadikan beberapa gambar, sampai sekarangpun masih saya simpan dengan judul "sekaten dan kamu". Saking girangnya saya, kata-kata "kamu" di album itupun menjadi hal yang sangat istimewa dan mungkin saja akan jarang terulang.

***

Kini, sekaten datang lagi. Sekaten yang sepertinya lebih meriah dari yang lalu. Saya senang dan berharap cepat-cepat datang kesana, tanpa ada yang mendahuluinya. Saya ribut ingin berada di dalam kerumunan dan riuhnya permainan. Namun sampai kini, sampai hari kesekian saya belum juga bisa mengunjunginya. Jadi, kapan saya bisa kesana, yaa? Mengulang kejadian yang mungkin sudah tidak selengkap tahun lalu. Tanpa mereka, tanpa ceria.

Kamis, Januari 7

Satu lagi untuk Tuan

Mengganggu memanglah hobiku, lantas apa?
Tidakkah kau jadi membenciku?
Semua orang pernah mengganggu, sengaja atau tidak.
Seperti yang sudah kubilang, aku mengganggu karena itu kesenanganku.
Entahlah, kau suka atau tidak...
Tapi aku suka mengganggumu,
sampai bantal menutupimu karena kau kesal padaku.

Bulan ini menginjak bulan kelima belas aku mengganggumu.
Di jalan tadi, aku berpikir, mengapa sampai saat ini kita masih duduk sebangku?
Menikmati waktu yang lagi-lagi jarang sendu.

Ditengah teriakan malam berpeluh hujan membuatku termangu,
lagi-lagi aku ingin mengganggu.
Sampai nanti kau yang bilang dulu,
jangan lagi mengganggu...