Kamis, April 29

Coretan Balasan

Hei bung! Ini kali pertama aku bicara padamu melalui serangkaian kata yang menurutmu akan menjadi bualan di akhir mungkin. Ini juga kali pertama aku melihat sisi lain dari jiwamu yang katanya memancarkan ekspresi batin, mencerminkan hatimu. Diary dunia mayamu.

Ah, rupanya kau belum banyak mengerti. Tapi kau seenaknya saja menggunjingkanku dan teman-temanku. Itu tidak adil, hey kau yang merasa pandai sendiri! Kau tak bisa melihat hasil keringat kami yang tak kami jalani dengan hati. Kau tak melihat atasan kami yang begitu saja melepaskan kami tanpa arah untuk berbakti pada apa yang kita kenal dengan seragam coklat muda coklat tua. Kau tidak mengerti ini semua, bukan? Itu yang patut kau renungkan sebelum gegabah memberitakan.

Kami ini ingin sekali berbakti pada kerajaan. Kami ini ingin sekali kalian mengenal kami sebagai penyelamat media kerajaan. Tapi tampaknya kami punya hidup sendiri. Hidup yang tidak bisa lagi diusik manakala kerajaan yang ingin kami junjung tinggi tak lagi memancar aura wibawanya, kerajaan tak bisa lagi menjadi pengayom dan merangkul kami barang lima detik. Kamipun melihat adanya keretakan di dalam sana. Bahkan temboknyapun sudah mulai luntur oleh kepercayaan. Semua orang memandang jijik padanya, pada kerajaan kita yang kini sudah akan ditinggalkan. Tanpa jejak nama baik, kuingatkan.

Kami juga takut, kami dikenang hanya menjadi sosok yang mencari jabatan untuk memenuhi pengalaman yang kelak akan dipakai untuk menarik hati ideologi kapitalis di luar sana. Kami tidak mau itu semua. Kalau perlu, selamanya kami tak akan menuliskan jabatan di media kerajaan ini di lembar yang akan kami rangkai sebentar lagi. Kamipun tidak sudi, bung! Kami tidak memberikan apa-apa tetapi kami menikmatinya kelak sebagai pengalaman palsu, tidak esensial.

Jadi seandainya saja kau juga mengerti perasaan kami, mungkin cengeng tetapi disini kami berusaha tegar ditengah sentilan yang menusuk batin. Mungkin memang kau yang paling hebat, punya banyak ilmu tulis menulis sehingga kau bisa membahasakan kami di sisi yang buruk. Tetapi terkadang kata-katamu itu tak kau perhatikan. Semestinya kau berpikir dua kali, bertanya ke timur dan selatan, bagaimana sesungguh-sungguhnya kenyataan berjalan.

Kami ini cuma bawahan, yang selama ini dijadikan pajangan dan kami tak bisa menentang. Kami hanya kaum minoritas yang bermimpi menjadi mayoritas. Kami tidak butuh cacianmu, kami bahkan bisa apa untuk melawanmu yang sungguh pandai itu. Kami kaum bawah yang selama ini hatinya tersakiti. Kamipun bagian dari kerajaan yang bahkan tak tahu seluk beluknya, kami buta arah dan ditinggalkan.

Selasa, April 20

Wanita Itu...

Aroma embun subuh pagi ini menyadarkanku dari tidur panjang semalam, dari derai isak tangis yang telah lama dirunut berjam-jam. Siapa lagi kalau bukan gara-gara lelaki kemarau, yang di tiap detiknya bisa membuat air mataku meranggas kekeringan di taman.
Kejadian semalam berlalu dengan cepat benar. Memori otak yang memutarnya memaksa air mata tertahan membayangkan. Ini tentang berburu rasa cemburu, hendaknya tidaklah disimpan namun setiap ingin membuang jauh bayangan segalanya terasa begitu tajam. Cemburu memanglah sebuah siksaan.

Awalnya hanya karena sepotong cerita dari mulutnya yang menyayat. Lalu dia pergi meninggalkan karena tak tahan dengan pertengkaran. Seminggu tak ada kabar. Ini pertama kalinya dalam hidup aku menangisi seorang lelaki hanya karena sebuah pertengkaran.

Setelah seminggu ini bertahan, tak percuma kupakai gengsiku, meninggikan ego. Dia menyapa. Hangat seperti biasa. Seolah kemarin, seminggu yang lalu itu tidak terjadi apa-apa. Mungkin saja dia rindu padaku. Lalu kami bercanda lagi. Kami akur kembali.
Cerita ini selalu berawal dari seminggu kemudian. Siapa sangka, kini aku telah benar-benar menjadi bagian dari hatinya, dan hatiku yang kering dulu kini sudah kembali basah, memancar kembali hijau yang setahun ini sempat hilang.

Dia lelaki kemarau yang bisa menghangatkanku dalam sebuah ikatan. Dia yang bisa menghargai segala pendapat dan perbedaan. Emm, tapi tidak selalu juga, masalah perbedaan menurutnya hal yang prinsipil.

Cukuplah aku bercerita tentang wangi yang selalu ia sebarkan. Kali ini mungkin aku ingin mengisahkan tentang waktu dimana hitungan mundur diciptakan. Waktu saat kita berharap indah dengan masa depan. Waktu ketika kau berharap sesuatu dan kau telah mencapainya kini. Masa lalu yang membuat jengah. Dalam salah tingkah. Dan kebisuan.

Ketika dia bercerita dengan binar mata yang tidak dapat disembunyikan tentang wanita ini, dari situ aku sudah mencium aroma keterasingan. Mungkin memang tidak banyak yang cukup membuatku berkesimpulan, lelakiku pernah menaruh hati pada wanita ini. Wanita yang sejak awal tak kukenal. Bahkan aku baru tahu darinya, setelah tiga bulan kami bersama.

“Kau tahu, dia mengucapkan selamat padaku karena telah menemukanmu…”
Aku hanya bisa terpaku mendengarkannya yang senang sekali bercerita. Tentang wanita yang itu bukan aku ataupun ibunya. Dia terlihat bahagia. Saat itu aku sama sekali tidak tahu apa-apa, isi hatinya bahkan sebuah kisah yang mungkin tersimpan antara dia dan wanita yang sedang asik diceritakannya itu.

Lambat laun aku kembali tidak peduli dengan pencitraannya tentang wanita itu. Kembali menjalani kisah yang memang seharusnya kami rangkai.

Namun tetap saja, sejauh apapun aku menepisnya. Cerita tentang wanita itu tiba-tiba terngiang. Binar mata yang jarang sekali kulihat itu tergambar jelas, lagi.
Aku rasa pernah ada cerita antara mereka berdua. Entah apa, sejauh apa aku tak bisa meraba.

“Mengapa kau benci padanya?”

Aku tentu tak bisa menjawab karena tak kuketahui sebabnya. Rasa tidak suka itu menyesap begitu saja. Karena ini masalah hati dan hanya aku yang bisa merasakannya.
Kini, aku masih bisa menemukan jejak-jejak keterhubungannya dengan wanita itu. Wanita yang telihat luar biasa di matanya. Dekat dengan kesan sederhana, namun jauh dari pandangan orang-orang.

Kumpulan bingkai bergambar wajahnyapun pernah aku lihat. Ada banyak, puluhan mungkin. Jadi sampai saat ini, aku tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Aku cukup meraba saja karena itu adalah sebuah kisah yang ada di waktu dengan hitungan mundur mulai dari sekarang.

Setiap mengingat itu, rasanya hati ini tercekik.

Aku hanya ingin belajar jujur mengungkapkan karena kata ibuku bohong itu dosa.

Wajah yang terpajang manis di folder itu, mengapa selalu membuatku merasa cemburu?


*kisah seorang teman yang amat membenci masa lalu