Senin, April 27

Euforia Lusa Malam


Euforia itu masih ada. Dan mengerikan.

Derik kunci tiap saat kini selalu terdengar. Dalam bunyinya terhembus hawa kecurigaan. Sampai kini. Sampai kapan?

Ngeri. Dulunya terasa damai. Pintu terbuka menjadi tanda si penghuni tengah menikmati kebersamaan di layar terpaku tengah ruangan atau membersihkan diri dari kuman-kuman aktivitas...

Sekarang, kunci-kunci tergeletak pasrah di atas meja. Melihat ke utara hawa lengang menusuk. Sampai kapan?

Entahlah. Merasa sedih. Berbeda dan aneh.

Knop pintu berbunyi, selanjutnya, kunci berderik.

Kunci berderik, knop pintu berbunyi, kunci berderik lagi.

Miris.

purnama yang tak biasa

Malam ini purnama keenam. Tak hanya gerimis namun hujan deras mengguyur. Kecewanya, aku sempat lupa, bila tak melihat kemasan getuk trio yang ada di meja makan kost. Di situ tertulis “dibuat hari ini tgl 26…” hati langsung meringis miris.

Aaaaahhh..hanya bisa melenguh panjang. Kecewa. Iya, karena tak seperti purnama-purnama yang lalu. Selalu terbangun di tengah malam menjelang purnama kesekian.

Bukan karena aku total lupa, sayang. Karena pikiranku tertuju pada kejadian di malam sebelum purnama ke enam menjemput. Sampai dini hari di kitari oleh bapak-bapak berseragam coklat muda coklat tua. Di interogasi tentang banyak hal. Demi kebaikan dan ketenangan semua penghuni kostan yang kecurian, hal ini harus dilakukan. Fokus pada kegiatan yang baru bisa di katakan selesai saat pagi menjelang subuh.

Namun aku masih kecewa pada diri sendiri. Tak seperti biasa, di dini hari yang dingin mengucap, “Sampai jumpa di purnama selanjutnya…”

Selamat purnama ke-enam, Poo…

Dan...sampai jumpa di purnama ke-tujuh.

Minggu, April 19

Pilihannya: (akhirnya) Pohon

Guyuran hujan dan sambaran petir mengintai di pekan yang panjang. Wanita itu tengah duduk di beranda, mengenakan baju hangat dan syal penutup leher. Tercenung memandang awan berarak hitam.

Ia teringat akan satu peristiwa yang menjadi memorabilia klasik, saat berpapasan dengan si pria, dan mendapat ceracau tak sedap. Larangan akan segala sesuatu terlontar. Sebenarnya ini hidup siapa? Mengapa ia mengambil alih kuasa.

Hujan semakin deras. Lamunan si wanita masih berlanjut,

Setelah pengekang di lepas, semua lantas jelas. Hidup yang kembali bebas, tak ada yang menjajah.

Tatkala beberapa waktu kemudian, akhirnya pertemuan dg hati istimewa itu datang, di sela hingar bingar gemerlap konser, ia tahu, kemana selanjutnya kasih akan terpaut. Kenyamanan dan kehangatan yg hati istimewa itu beri, aaaaahhh, terasa mewah walau di ungkap dengan sederhana.
Layar menyala, lampu temaram, dan panggung meriah adalah awal dimana si hati istimewa itu mulai mengusik.

Hujan ini juga membawa kembali kenangan. Antara wanita, si hati istimewa dan pohon sebagai pilihan. Pohon tetap kokoh berdiri meski angin, panas, ataupun musim semi mencoba mengikisnya.


Dan si wanita bahagia, saat hati istimewa berkata, 'aku akan jadi pohon!'

Ia tersadar dari lamun lalu.

Wanita di hujan hitam itu membentuk dua lesung pipit di wajahnya. Tanda ia bahagia mendengar proklamasi pohon saat itu. Dan ia berjanji dalam hati, ia akan selalu menjadi tanah tempat dimana pohon itu berada.

Si wanita membetulkan letak syal nya. Ia mulai kedinginan. Masuklah ia ke gubuk, dan berharap secepatnya dapat memeluk sang proklamator pohon.

Sabtu, April 18

Jurnal

Di daulat tak bisa, tetapi kuyakin dengan sisa tenaga yang ada.
Terjerembab di tempat yang sama, namun mencoba tak mengulangi untuk yang ketiga kalinya.
Otak bebal dengan segala muatan konyol tak berbentuk, semoga bisa segera berfungsi.
Malam yang tak bergairah, menjelajah pun tak cukup menggugah.
Malaikat malam yang tak kunjung datang meninabobokan dari segala penat hari ini, cukup sudah.
Ratuku tergeletak dengan pasrah dalam balutan kain rajutan bunga, mengeluh kedinginan.
Ceracau berkurang satu, ia tak berani pulang kandang.
Mengingat alur cerita seorang ayah yang dipisahkan dengan anaknya, si anak yang terpilih untuk jadi juru selamat di masa mendatang, alien membawanya pergi. Walau absurd, aku tetap menangis. Terasa indah.

Ingin menyampaikan pada malam, "sudah lama, aku merindumu..."

Jumat, April 17

------------

Rasa ini seperti saat Suryo berkata tak akan lama lagi ada di kos damai ini. Seperti saat tahu Difta kesetrum di terminalnya sendiri. Saat harus menerima segala tuduhan yang ditimpakan. Saat bermain ke distro Bokiek dan mendapati milkshake strawberry terasa tak enak dan tahu hanya tinggal tersisa voucher 5 jam untuk akses internet.

Saat tahu esok akan kembali. Dan berharap tuk di sambut. "Selamat datang, buah hatiku..."

Kamis, April 2

17:12

Sore tadi baru melalui perjalanan di bawah rintik hujan. Melalui kota Jogja yang panas di siang hari. Singgah di sebuah angkringan yang terkenal di dekat stasiun.

Seorang anak kecil menghampiriku, seketika bernyanyi kala hanya berjarak beberapa meter saja dari bengku reyot yang ku duduki. “Hai, gadisku yang cantik, coba lihat aku disini, disini ada aku yang suka padamu…” membuatku geser-geser dari tempat duduk menghindari cipratan hujan dari mulut bocah itu. Dia muncrat! Oh, God!

Dan, di tiap akhir bait lagunya, si bocah tengil itu menambahkan kata, “auw..auw..” menjadi, “Jangan jangan kau menolak cintaku…auw..auw… Jangan jangan kau hancurkan hatiku… Ku yang s’lalu setia menunggu, untuk bilang I Love U padamu auw..auw..auw...auw…” *di lirik terakhir ‘auw’-nya menjadi bertambah banyak*

Bocah yang lincah. Sudah diberi upah atas jasanya menghibur, dia menawarkan sebuah permainan. Permainan kait besi. Entahlah apa namanya itu. Katanya, “kalau Mbak bisa misahin besi yang gandheng ini, tapi jangan dipaksa, berarti Mbak pinter…” *sambil mempraktekan *

Merasa tertantang kucoba mengambil dua besi yang terkait itu dari tangan si bocah dan mencoba melepaskan kaitannya. Oh, susah sekali! Mengapa bocah itu dengan mudahnya memisahkan dua besi ini? Terus ku mencoba sampai si bocah berkata,”jangan dipaksa Mbak kalo nggak bisa,” Empfh, mau di letakkan dimana muka-ku ini. Malu!
Aku menyerah! Kemudian bertanya pada si bocah,

“Sekolah dimana, Dek?”

Ia menjawab dengan santai *masih memegang permainan yang membuatku malu tadi* “Nggak sekolah, Mbak..”

“Kenapa? Umurmu berapa?”

“Yo ndak papa, sepuluh tahun, Mbak…”masih terus memamerkan kecanggihannya memisahkan kaitan dua besi yang tersambung tadi.


Susu jahe hangatku telah terbungkus plastik. Siap dibawa pulang. Aku membungkus karena hari semakin mendekati maghrib. “Ayok, dek! Duluan…”

“Monggo, Mbak…” sambil menguntit di belakang kami, hingga kami memasuki mobil. Ia melambaikan tangannya dan berkata, “Hati-hati, Mbak!”

Bocah kecil malang yang bersemangat.

Cerita di Purnama Kelima

Kebimbangan itu sempat menerpa. Menggelayut kala lelaki pemanis sukma melantunkan kalam. Terdengar bagai ayat Tuhan tentang usaha dan cinta dua anak manusia. Duduk bersisihan di bawah guyuran gerimis. Memandang tanah lapang dan gambaran istana.

Sempat pula air mutiara ini jatuh, antara bimbang dan terharu. Antara lelaki pemanis sukma dan masa lalu tanpa cahaya.

Lelaki pemanis sukma mampu membacanya. Ia meyakinkan sungguh-sungguh.

“Apalagi yang kau ragukan wahai baiduri biru? ”

“Aku masih takut,”

Lelaki pemanis sukma itu terus meyakinkan. Hingga sampai pada suatu kepercayaan. Tak seketika namun melalui berbagai lantun syahdu peyakin hati.

Ia mampu! Ia bisa membuka hati ini, percuma mengharap masa lalu tanpa cahaya, ia sudah lesap, meresap ditelan tanah bau basah.

Akhirnya, di tengah-tengah lagu cinta yang masih misteri,
“bimbing aku, menjalani hari bersamamu…”

Dan sekarang, sampai pada purnama kelima, lelaki pemanis sukma masih ada. Ia tak seperti masa lalu tanpa cahaya. Berbeda!