Senin, Desember 15

Kita, Fana

Aku rindu kamu, mas. Malam ini aku masih di kantor. Bergumul dengan deret rumus dan angka. 

Biasanya ada kamu yang membandingkannya dengan pelajaran terbang yang lebih mirip perspektif tiang listrik, dibubuhi dengan angka dan simbol derajat. 

Biasanya ada notifikasi "Jati Wikanto sent you an image". Taraaaaaaa, foto after gym yang perlihatkan lengan bergelambir, seolah ingin menunjukan kemajuan luar biasanya, dengan massa lemak yang sedikit sekali berkurangnya. 

Biasanya larut malam masih di kantor seperti ini ada kamu yang bilang,"mbok ndang pulang, jangan kemaleman. Nanti sampai kosan kabarin, hajatnya nggak boleh kelupaan ya, nduk.."

Ah...

Rindu ini sudah beberapa kali mencapai klimaksnya. Tapi aku tidak tahu cara mengobatinya. Hanya bisa lafalkan namamu di setiap doa.

Mereka bilang, aku jodohmu, namun kamu bukan jodohku.

Kita ternyata benar-benar fana. Hanya segelintir kenangan tentangmu yang bisa aku kais, itu yang abadi.

Aku mencintaimu, mas. Sampai sekarang, saat kamu sudah tiada.

Jumat, November 28

Sepeninggalmu

Hari ini adalah hari ke-30 kamu terbang menuju kehendak Tuhan. Tepat sebulan lamanya kamu meninggalkanku. Hari-hari tanpamu kini, membuatku sampai pada satu kesimpulan bahwa sesuatu akan terasa berharga jika telah tiada.

Kamu.

Tentang kita. 

Syahdan, kita adalah alkisah dengan alur yang tak pernah menemui ujung. Belakangan aku percaya bahwa kelak kita akan berada dalam satu atap, berbagi selimut, aku sebagai "co-pilot" saat kau menyetir, dan kau selalu menggenggam tanganku di atas persneling AB 70 S tanpa sedetikpun melepasnya (seperti yang sering kau lakukan saat kita berjumpa). Juga berada di masa di mana harus memilih interior untuk surga kita sendiri dan bertengkar kecil karena penempatannya tak sesuai selera. Tapi, kini aku dihadapkan pada kenyataan bahwa Tuhan memintamu untuk pulang lebih dulu, supaya aku tak berandai-andai terlampau jauh.

Tuhan. Jika memang Kau lebih sayang padanya, ijinkan aku untuk mengikhlaskan. Bantu aku untuk menguatkan hati ini. Mengobati lukaku sendiri. Tidak memintaMu lagi untuk mengembalikannya sesuai keinginan hati. Karena sebelum ini Kau pernah menghadirkannya sebagai pelipur lara yang kedatangannya tak begitu kuhargai.

Sepeninggalmu rasa sesal menjalar. Mengapa tidak sedari dulu aku persilakan kamu masuk perlahan. Memberi warna pada kelabu. Membuat mata ini berbinar. Menciptakan ukir senyum terlebar dan arsir wajah yang sumringah. Pada akhirnya menyalakan pijar.

Sepeninggalmu seluruh rutinitas terasa pahit. Kecuali saat aku bisa menyadarkan diriku sendiri untuk kembali bangkit. Aku pernah rasakan keterpurukan karena masa yang telah berlalu. Namun, untuk kehilangan yang mulai kucinta dan gagal dalam membahagiakan sosok baik sepertimu, aku sungguh tidak siap dan ini jadi sesalku yang teramat.

Tuhan. Jagalah hatinya dan sandingkan dia dengan bidadari tercantik di surgaMu. Aku yakin Kau mengambil dan memberikan sesuatu jika seseorang telah benar-benar siap untuk itu. 

Tuhan. Sampaikan salam rinduku padanya, untuk lelaki-sayap-besiku.




Malam ini adalah puncak rindu terdahsyat. Kau berpulang tanpa tinggalkan satupun pesan. Hanya melatihku untuk terbiasa tanpamu satu purnama lamanya.

“You are the only person I can talk with about the shade of a cloud, about the song of a thought. See you soon my strange joy, my tender night.” - Vladimir Nabokov

And now, absence makes the heart grow fonder. Goodbye, farewell, my airman. I'm searching for meaning, and i realized you had my heart at least for the most part.

Jumat, November 21

Surat untuk Jati


Dear mas Jati...

Kemarin 8 November 2014, aku menyambangi kediaman kamu, mas. Disambut mamah dan bapak, juga kakak pertamamu, serta istrinya.

Awalnya kami berbincang, sampai di satu titik, mamah kamu menyadari aku siapa, seperti familiar. Mamah sontak memastikan namaku sama seperti yang disebutkan di beragam ceritamu, lalu beliau memelukku dan berbisik, "Maafin Jati, ya."

Aku menangis, mas. Tidak seharusnya mamah bilang begitu, justru aku yang mestinya lebih dulu meminta maafmu, lalu haturkan maaf ke beliau. Masyaallah. Kami semua sedih, mas. Aku berkali-kali menggenggam tangan mamah, berharap paling tidak bisa menguatkannya supaya berhenti menangis. Tetapi, mamah melanjutkan ceritanya, tentang terakhir kamu menemani beliau, kamu merangkulnya sambil berujar, "Mamah kok pendek, to?"

Dari situ mamah mulai berlinang air mata lagi.

Dalam hatiku ngilu, mas. Tapi supaya mamah kamu tidak sedih-sedih lagi, aku ceritakan kisah lucu kamu, emm, kisah kita tepatnya, mas. Awal kita bertemu, sampai alurnya yang mirip parodi 500 days of summer. Ah, bahkan kakak pertamamu juga tertawa mendengarnya. Keluargamu sungguh hangat dan menenangkan. Tidak heran kamu selalu rindu untuk pulang.

Aku dan mamahmu tersayang bertukar nomor handphone. Mamah meminta PIN BBMku, tapi kamu tahu kan, mas? Aku tidak pernah mendownload itu. Akhirnya kita beralih ke media lain untuk ngobrol. Sorenya aku langsung mengunduhnya dan minta PIN mamah. Kami ngobrol lagi, mas. Mamah cerita harapannya bisa umroh full team Januari depan, menunggu dek Singgih, adikmu yang sedang studi di Jerman, pulang.

Sungguh, memang belum berjodoh, mestinya minggu depan setelah latihan manuver 30 Oktober 2014 kemarin, kamu medex ke Jakarta. Yang mana dapat dipastikan kita bisa nonton bareng lagi di Kokas, mall favoritmu ya, mas?

Mas, dari sekian banyak cerita tadi, satu yang bikin hatiku semakin ngilu, waktu lihat Abang. Kucing peliharaan kamu yang katanya cuma mau peluk-peluk kamu. Yang sudah siap menunggu di depan pintu dengan "ngeong" manjanya kalau kamu sudah terlihat muncul di gerbang rumah. Kemarin, dia seperti menunggu. Berdiam di depan pintu sambil sesekali menengok ke arah jalan. Aku kira pasti Abang menunggu kamu pulang. Kamu banyak bercerita soal Abang, betapa kamu sangat sayang sama kucing lucu ini.




Di 20 November 2014 kemarin, KNKT sudah memutuskan bahwa Liberty-mu dinyatakan hilang. Shocknya sama seperti saat pertama kali dengar kamu jatuh bersama pesawat itu. Sekolah menyelenggarakan pelepasan, sedih melihat fotomu terpampang di situ, aku dapat dari Patrick foto ini, mas. Dia yang selama ini memberi kabar terbaru tentang kamu.




Jauh di dalam hatiku, mas. Aku mohon maaf, karena belum bisa sepenuhnya membahagiakan kamu yang sudah begitu banyak memberi perhatian dan kasih sayang. Kemarin itu, aku masih terlalu rapuh untuk mengerti perasaanku sendiri. Masih takut untuk menghidu aroma orang lain meskipun kamu sudah lama kukenal. Namun, aku beruntung kamu hadir, dan selalu sabar menasihatiku dari jauh. Mengajakku untuk bersyukur dan mengambil hikmah atas segala kejadian di masa lampau. 

Dear mas Jati, 
kamu sudah terbang lebih jauh dari sebelumnya. Kamu terbang mengejar cita-cita dan berada di derajat paling tinggi saat meninggalkan kami semua.

Stay safe up there, my Airman. My dearest.

Semoga lafal cinta dan doaku bisa menembus awan tempatmu menuju ya, mas. 

Terimakasih untuk pertemanan lucu tanpa tuntutan apapun, selama hampir lima tahun.

Terimakasih banyak untuk kasih sayang dan perhatian tak terhingga selama hampir 12 bulan lamanya. Maaf atas semua khilaf yang telah menyakiti hatimu. Kamu berkali-kali bilang bahwa tidak ada dendam. Hanya ada dua hati yang belum siap untuk dipertemukan dalam sebuah kalam, juga aksara yang mengikat dua.

Selamat jalan, mas Jati. Doaku mengiringi kepergianmu. 

Khusnul khotimah, R. Jati Wikanto. 

You're the one who always keep me stronger, wiser and happier.




I love you, wholeheartedly.

I truly believe you're in a better place right now. Let's just stare and talk to each other if we have an occasion. Through a dream? Or several dreams?

Selasa, November 11

Adios, cool Amante

Good morning, J.

Good night, J.

Get back to me soon, J.


It would be good to see you home. I just wanna know and love you better. But now, i'm finding out that all is right at home. A new home, new chapter of life. 

Allah knows the best. Allah loves you better than me.

The one who ever called me as sweet as an apple pie...

See you in another life. I'm telling you to never feel alone. I'm with you.

Adios, cool Amante. Adios.


Senin, November 3

Pulanglah, kami menantikanmu 2

Lelaki sayap besi,
Tepat di hari kemarin ransel, buku, file-file sekolahtempat kacamata dan dompetmu ditemukan. Pun ada foto keluargamu yang manis sekali sedang mengenakan batik di barisan kartu identitas lain. Kamu family-person-type sekali.

Lelaki sahabat awan,
Hari ini mereka pulang dengan tangan hampa. Waktu dijadwalkan dua hari lagi sebelum berakhir. Segeralah pulang, jangan kamu ulur kekhawatiran ini lebih panjang. Berkilaulah, sehingga kamu terlihat mencolok di sekitar kabut yang membutakan.

Sepulangmu kemari akan ku hadiahkan Chatime Hazelnut Latte dengan banyak pearl kesukaanmu.

Lelaki pagi,
Segeralah pulang, kemudian kita berbincang...




...because,





Jumat, Oktober 31

Pulanglah, kami menantikanmu

Mas Jati,
Gimana kabarmu? Sekarang ini aku sedang melihat berita di televisi, dan ada namamu di situ. Melintas seketika raut wajahmu. Mataku mulai samar, lalu kemudian basah.

Mereka masih mencari keberadaanmu. Mereka temukan serpihan alumunium foil, fire exthenguiser dan life jacket yang mestinya kamu kenakan. Meskipun aku tidak tahu kamu di mana, tetapi aku selalu merasa kamu sedang berjuang pulang dan bertahan untuk keluarga yang kamu sayang.

Mas Jati,
Sebelum menulis ini, aku sudah sholat dan makan. Seperti yang selalu kamu ingatkan, "Kewajiban sama Allah jangan dilupain, asupan gizi buat badan juga penting. Tapi ojo kakehan mangan yo nduk, ngko lemu."

Kamu itu lucu. 

Kamu tahu mas? Di sini aku dan beberapa teman dekatmu bergelut dengan gelisah. Ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja karena kami tahu kamu kuat. Kamu punya ambisi besar untuk menyelesaikan studi terbangmu tahun ini. Seperti yang pernah kamu bilang, "nduk, aku kejar kelulusan akhir tahun, doakan ya." 

Pasti, mas. Selalu. Kejar! Kamu pasti bisa.

Satu waktu kamu pernah berceletuk,"aku mbok ditulis di blogmu, apa, kek... Pilotku.., terbang tinggi... Bla bla bla..," ujarmu sembari memeragakan adegan deklamasi. Kamu sungguh lucu. Tapi raut wajahmu selalu menunjukkan ekspresi datar. Banyak teman bilang kamu itu pria tanpa ekspresi. Ah, mas Jati...

Pada akhirnya, beberapa waktu lalu kita berjarak. Kita sama-sama tak keberatan, karena fokus kita masing-masing berbeda. Kamu, demi mamah dan bapak, demi kebahagiaan dan jadi kebanggaan mereka kan, mas? Tapi sejujurnya mas, di sebuah ladang dalam hati ini, rindu satu-persatu disemai. Menantikan datangnya pesan dari kamu. Ataupun skype call yang kemarin dulu pernah kita lakukan cukup sering. Tetapi jarak ini terasa begitu angkuh, mas. Aku tahu, kita sedang sama-sama menikmati sulitnya berjuang untuk berdikari. Komunikasi kita mengendur, karena memang tak ada yang mengikatnya.

Aku masih gemetar karena berita yang aku lihat selewat ini. Pesawat latihmu belum juga ditemukan. Namamu disebutkannya keliru oleh si reporter. Di sini tersempil harap bahwa bukan kamu yang menerbangkan liberty itu.

R. Jati Wikanto,
Sepertinya aku salah langkah atas rasa yang dulu. Tapi, rapuhnya diri karena sebab-yang-kau-tahu, masih begitu terasa. Maafkan aku, mas. Maaf. Aku yakin, kita masih bisa bertatap muka, dan lalu meminta maafmu.

Pulanglah, mas. Kita nonton lagi, banyak film baru yang tentu ingin kamu nikmati. The Judge, Fury, Chef? Which one, mas? Kamu yang pilih kali ini. 

Kepulanganmu sungguh akan menjadi keseluruhan yang utuh bagi kami. 

Kami menantikanmu, mas Jati.




Ermaya,
yang sering kau panggil dengan sebutan mbak ngapak dan si alay. Pulanglah, supaya kamu bisa lagi memanggilku seperti itu, aku janji tidak akan menggerutu.


Jumat, Oktober 17

Love is a game

Sepulang meeting. Jalanan Jakarta. Kemacetan. Riuhnya suasana di luar. Jendela taksi. Berkedip lebih lambat dari biasanya.

Teringat tentangmu lagi, yang dengan sesukanya hadir dan pergi. Ah, tidakkah kamu tau bahwa aku sudah lelah. Pasti sulit sekali bagi hati ini yang dengan mudahnya terlonjak gembira, kemudian redup lagi. Bergerak dari suka lalu bermuram kembali.

Apa yang kamu cari dari sebuah suasana? Yang dengan mudahnya mengingatkanmu pada seseorang. Datang, pergi, berhasil dan gagal. Naik, turun, suka dan duka.

Love is a game
of tic-tac-toe,
constantly waiting,
for the next x or o.

Rabu, Agustus 6

Aufklarung

Saat kedua lengan kanan dan kiri kita bersentuhan, mereka menciptakan kisahnya sendiri. Degup nadi yang mengalun dan derasnya aliran darah. Tegang. Salah tingkah.

Saat aku peluk kau dari belakang, ingin rasanya menahanmu lama di sini, memintamu untuk sekedar menggenggam tangan hingga mata ini tak kuasa menahan kantuknya.

Saat kau bicara kita lihat saja nanti, bergulir saja seperti embun melesat dari daun, tenang seperti air yang bebas berenang, pasrah menjalani dengan berserah. Aku ingin menjauh. Pergi sejauh-jauhnya. Berlari. Aku tak ingin lagi punya harap.

Aku ingin seluruhnya menjadi jelas. Aku hanya ingin kau ucap janji yang membuat terang segala buram.

Cause it's not easy to meet each other in such a big world...

Kamis, Juli 17

Kencan Rabu

Aku menunggumu di bawah sinaran mentari yang sedang terik-teriknya siang ini. Kau datang. Bersamaan dengan kacamata hitammu, tampak bergaya dan kekinian. Kau membuka percakapan dengan, "Pakailah tissue ini untuk bersihkan keringatmu."

Matahari masih tinggi-tingginya. Kita menyusuri jalanan kota kecil ini untuk pertemuan yang sudah kita rancang sedari lama. Rindu hanya satu obatnya. Pertemuan hari ini. Aku tidak lagi bisa bedakan arah, kiri atau kanan karena di sampingku hanya ada kamu. Konsentrasiku buyar. Semua terasa hanya kita berdua saja di sini. Aku senang.

Bulan lalu di hari yang sama, aku termenung sendiri di pojok kamar. Membayangkan datangnya hari ini. Sempurna seperti yang terasa. Benar-benar terjadi. Lingkar pinggangmu yang kini terasa semakin kokoh.

Dalam perjalanan pulang, yang aku sayangkan hanya waktu yang bergulir cepat. Tak peduli dengan kebahagiaan yang tengah aku alami. Waktu semena-mena memutarnya seperti gilingan kelapa. Cepat. Tak henti-henti berputar untuk mengaduk ampas-ampasnya.

Tetes hujan membasahi jalanan. Aku tersenyum sendiri. Melihatmu kini menggenggam tanganku. Akhirnya.

Kamis, Mei 8

Pada sebuah pohon

Nyatanya ada yang lebih kokoh dari sebuah pohon. Dialah hati yang pernah kukecewakan. Hati yang pernah menjadi tameng duka, begitu dekat namun tak pernah kurasa jika ia selalu hadir. Hati yang pernah mengajakku bertualang lewat bincang masa depan. Menelusuri lorong waktu miliknya.

Kini, akhirnya aku tahu bahwa ia yang selalu ada, bukannya dia yang lama bersamaku tapi tak sejengkalpun dekat.

Pada sebuah pohon aku mengadu. Tentang hati yang selama ini berikan banyak arti. Aku sentuh tubuhnya, meminta maafnya, namun dia menampik. Aku tidak pernah menyadari, hingga sekarang akhirnya aku terbangun dari lamun panjang. Rasanya seperti tertampar, berbalik diserang. 

Lewat lantunan doa aku memohon, jagalah selalu hatinya agar tak tersakiti lagi. Jagalah dia yang selalu lebih arif dari hati yang lain.

Untuk sebuah pohon bernama Jati.

Rabu, April 16

Tinggalkan Kenangan, Sisakan Rahasia dan Abadikan Rindu

Mungkin saat ini kau sedang bercanda dengan mereka yang kau sebut sahabat sejati, merasakan setiap gelak tawa dan nyamannya berada di tengah teman-teman lama. Sebentar berhenti untuk mendengarkan kemudian bergelak lagi. Sesekali kau menengok ke bangku sebelahmu, melihat langit dan tersenyum melihat bulan yang tak bulat sempurna. Seperti ada yang kurang kau rasa. Tentu saja. Kehilangan.

Sungguh, aku senang kau tertawa kembali. Aku senang melihatmu seperti itu. Mirip ketika kita mainkan beragam musik yang kau putar di mobilmu. Bernyanyi bersama dan berkali-kali tertawa karena sumbangnya suara. Namun, aku tak suka jika kau menengok sebelahmu, menatap langit dan tersenyum. Aku mulai paham, kau kehilangan. Tak ada lagi yang menawarimu tissue untuk bersihkan tanganmu yang iseng menyentuh segala sesuatu yang terlihat menarik mata.

Akupun rindu.

Namun, kini aku semakin sulit memahaminya. Mendengar tawa yang pecah dan merasakan isak tangis disela-selanya. Seandainya saja rindu ini bisa kupelajari lebih dalam lagi. Tetapi, segalanya sudah telanjur pergi, terlalu cepat. Kau tahu? Aku selalu memimpikanmu, di pantai yang sama di kaki lima tempat kesukaan kita saat makan siang. Tempat dimana hanya ada hangatnya kenangan. Apakah ada bahagia yang melebihi mimpi ini?

Kau segala waktu dan peristiwa di lorong masa lalu. Meninggalkan kenangan, menyisakan rahasia dan mengabadikan rindu.

Senin, Maret 3

Kehilangan yang Tertunda

Sore ini kuseduh teh panas, berharap pegal di punggungku beranjak pergi. Sejak kemarin aku tak dapat tidur dengan nyenyak, entah itu karenamu, atau perihal pekerjaan yang sebenarnya masih terhitung ringan. Jadi, kau pasti dapat dengan mudah menebak sebabnya.
Sudah tiga malam mata dipaksa terjaga, pikiran dipaksa berkelana dan hati ini masih tetap hampa, belum menemukan jawabannya. Betapa masih erat melekat, garis wajah yang memagut senja. Mengalihkanku dari siluet indahnya.
Sebelum guratan luka menumpuk menjadi aksara dan harapan yang semakin sedikit tersisa. Rindu? Untuk apa lagi ia hadir? Aku sama sekali tak merasakannya. Bahkan ku tak berminat lagi menengok kenangan yang ada. Namun, bila kau tak punya luka dan kenangan, kemana kau akan pergi bertamasya bila tiba episode bahagia?
Untuk yang masih berharap, sesungguhnya cintamu kini adalah kehilangan yang hanya tertunda.

Rabu, Januari 29

Suatu Senja di Yogyakarta

Tatkala senja di kota ini sedang ada di puncaknya, ketika desah dua nafas beradu dalam kekhawatiran. Takut dengan perpisahan. Masing-masing berdoa dalam hati tak mau terlihat bergumam, rapatkan kami, niscaya aku dan kamu yang menjadi kita, kelak berbahagia.
Tak terasa gelap pun jatuh, di penghujung malam. Sedikit bintang malam ini, mungkin karena ada yang tersedu dan pasi. Lalu ada sepasang mata yang semakin takut memejam. Alangkah mengerikannya apa yang dibayangkan menuju pagi terjadi.
Ia berlari di malam hari, menuju senja kemarin lalu. Terlalu lama untuk takut, ia tak bisa lagi saksikan manisnya senja yang saat ini dirundung mendung.
Sampai jumpa ketika takdir berkenan untuk merapatkan. Di senja yang lain, mungkin saja di Yogyakarta, atau bahkan di kota lainnya (?)

Kamis, Januari 9

Reproklamasi

Rama-rama itu berjejar rapi di antara kuncup kembang malam tersebut, harumnya nektar melati sanggup membuat mereka terbius, lelap, di tengah purnama kelima kami bersama, perempuan baiduri biru itu terdiam mendengar lantunan takbir kalam, be my girl, lirih, namun mampu meresap diantara pembuluh nadi hingga ke hati.
Kalimatnya serba berandang, menebus segala masa lalu yang kelam, sejurus kemudian kabar tersebut tersiar hingga ke delapan penjuru angin, tak mau menunggu lama, sang perempuan baiduri biru mendekap lelaki penghenti waktu dalam lamunan malam, kini tiada lagi 'kau' dan 'aku', hanya 'kita' semata, itulah janji terikat, hingga purnama kelima ini.
Wahai perempuan baiduri biru,aku tidak sedang merinaikan sonora bersajak peluluh hati, aku ingin membuktikan, terdiam dalam bisu pun kau akan tau hanya dirimu satu hatiku terkadang berbagai musim berlalu menghampiri, namun saat kuingat dirimu, semua lesap
Di purnama kelima ini, aku hanya ingin berdikari dalam tempat dan niat yang kian menguat, saat malam dua enam itu tiba, aku hanya ingin berkata: "be my girl, maya..."
Reproklamasi ini ditulis olehnya, yang tak lagi sama. Ternyata kami berdua tak mampu selamatkan 'kita' :)