Selasa, April 24

Suatu Senja

Kau sayang padaku?
Tentu. Haruskah aku katakan itu setiap hari. Layaknya anak remaja yang baru menjalin cinta saja.
Terkadang untuk merasakan muda kita butuh belajar dari anak remaja.
Baik. Tapi aku mau katakan padamu jika kita bertemu, biar semua orang tahu dan kau malu.
Lalu kau berharap aku tidak lagi menginginkanmu mengatakannya lagi?
Kau selalu melumat habis isi pikiranku.
Kau ingat cat rumah yang selalu kita dambakan untuk warna masa depan?
Aku cuma ingin putih dan abu-abu. Kau mau warna coklat seperti Casa Grande. Hahaha.
Kau ingat saat kita ke toko buku dan melihat interior kamar mandi juga dapur?
Kau saat itu berdecak kagum, bagaimana bisa kamar mandi sejelek ini bisa berubah maha sadis apiknya. Kitchen set yang kau ingin warna putih dengan jendela terjajar di seberangnya.
Kau selalu ingat detil kita ya.
Bagaimana tidak, dari dulu aku menginginkanmu.
Sekarang?
Aku tak tahu. Kau buat aku jatuh terlalu dalam. Kau buat aku bingung bukan kepalang.
Kau tak mau buat rumah dengan tangga yang kau tunjuk di toko buku yang sama?
Aku mau, hanya bersamamu.
Kalau begitu sisihkan pendapatanmu, nanti aku belikan rak buku untuk bawahnya.
Beli semua itu dan ambillah hatiku juga jika kau mau.
Aku tak mau hatimu, aku hanya mau memiliki seluruhmu.

Minggu, April 15

#kesekian

Kalau kau tahu rasanya dijejal, itulah yang aku rasakan. Tidakkah kau tahu orang itu berbeda paham?

Kalau kau terus menjejal, kau ganggu sebuah tatanan. Hilang makna ketentraman.

Kalau kau terus menjejal, kau buat aku terus gencarkan prasangka.

Kalau kau terus menjejal, memangnya kau tak kasihan pada tatananmu sendiri?

Kalau kau akan tetap menjejal, mungkin saat itu aku harus berserah. Nikmati sesukamu. Kau mau apakan tatananku.

Untuk suatu saat nanti. Kalau aku tak bisa lagi tahan.

Kalau Sudah Datang

Kalau sudah datang kabut, kita baru bisa merasakan ketegaran bersanding sepi.

Kalau sudah datang badai, kita baru sadar bahwa selama waktu berjalan kita selalu berpegangan.

Kalau sudah datang hujan, kita baru bisa tahu dalamnya rindu ini.

Kalau sudah datang malam, aku baru tahu kalau tangis itu adiktif.

Aksara

Ada aksara memilih untuk hening, tidak penuhi haknya untuk terangkai dengan lainnya.

Aksara itu jatuh tepat di sayatan luka. Merembes kedalam aliran darah. Terbawa oksigen dengan kegemarannya berjalan-jalan ke segala penjuru cabangan.

Aksara tak tahan dipermainkan, ia berontak. Memohon pada bulan agar dikeluarkan dan digunakan semestinya.

Bulan mendengarnya, aksara keluar, pecah berkeping-keping. Menjalar ke sisi-sisi kesedihan. Muram.

Susah payah ia merangkai maknanya yang hilang, bila tanpa keutuhan, mustahil ia menjadi sebuah pemahaman.

Lama, hanya telinganya yang belum dipersatukan. Ia tak bisa mendengarkan. Lembah duka memperlambat pemaknaannya.

Telinganya ada disisi kegembiraan, untuk memulainya ia harus tembus dinding ratusan milimeter tebalnya. Tak kuasa ia mohon kembali pada bulan.

Bulan menangis melihatnya, namun ia tak bisa memberi untuk kedua kali. Cukup darinya, aksara telah peroleh semuanya, hanya satu usaha saja yang belum bisa dicapainya. Menembus pendengaran untuk bisa paham.

Aksara mengatup. Menunduk dalam.

Kini ia merasakan betul sulitnya mendapatkan sebuah pengertian. Utuh.

Aksara terus berjalan, mencoba menelusuri bagian yang lain untuk dapat kejelasan.

Percuma, ia tak dapat apa-apa. Selalu, sebuah tanya menggantung murung. Bayang lalu yang terus ia pertanyakan.

Bila saatnya nanti ia sudah tak tahan. Mungkin itulah akhir dari petualangannya mencari pemahaman.

Takdir mengutusnya untuk mencari reinkarnasi pemahaman lain. Tidak lebih tetapi melegakan. Setidaknya, ia menjadi paham.

Pada akhirnya.

Minggu, April 8

Bunga Tidur

Aku dirantai oleh sebuah kewajiban yang harus dituntaskan. Aku dibelenggu rindu berkilometer jauhnya. Kau dimana? Hendaknya kita menjadi bola kristal bersanding waktu. Yang menggelinding tak peduli apa yang menempa. Kau dimana?

Maukah kau hadir dalam bunga tidur malam ini?

Angin, Karang dan Kanvas

Di mulut pantai itu kau mengucapkan angan-angan. Sebuah harapan datangnya esok yang belum tertebak. Perlahan kau menuju kedalaman airnya, kau isyaratkan sebuah aksara cinta. Kau tiupkan namaku disela gemuruh angin.

Kaosmu yang sudah basah sebagian. Bayanganmu yang lurus ditempa matahari. Lalu kau duduk diatas karang itu. Berpose lucu dengan ekspresi yang datar. Aku menertawakanmu, tapi hatiku tersenyum dan hendak menangis menakuti prasangka yang sering muncul.

Jangan sampai kau hapus dirimu dari hati ini, seperti pelukis yang sesuka hati melapisi warna demi warna diatas kanvas, kemudian tak menghiraukannya lagi.

Minggu, April 1