Jumat, Oktober 31

Pulanglah, kami menantikanmu

Mas Jati,
Gimana kabarmu? Sekarang ini aku sedang melihat berita di televisi, dan ada namamu di situ. Melintas seketika raut wajahmu. Mataku mulai samar, lalu kemudian basah.

Mereka masih mencari keberadaanmu. Mereka temukan serpihan alumunium foil, fire exthenguiser dan life jacket yang mestinya kamu kenakan. Meskipun aku tidak tahu kamu di mana, tetapi aku selalu merasa kamu sedang berjuang pulang dan bertahan untuk keluarga yang kamu sayang.

Mas Jati,
Sebelum menulis ini, aku sudah sholat dan makan. Seperti yang selalu kamu ingatkan, "Kewajiban sama Allah jangan dilupain, asupan gizi buat badan juga penting. Tapi ojo kakehan mangan yo nduk, ngko lemu."

Kamu itu lucu. 

Kamu tahu mas? Di sini aku dan beberapa teman dekatmu bergelut dengan gelisah. Ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja karena kami tahu kamu kuat. Kamu punya ambisi besar untuk menyelesaikan studi terbangmu tahun ini. Seperti yang pernah kamu bilang, "nduk, aku kejar kelulusan akhir tahun, doakan ya." 

Pasti, mas. Selalu. Kejar! Kamu pasti bisa.

Satu waktu kamu pernah berceletuk,"aku mbok ditulis di blogmu, apa, kek... Pilotku.., terbang tinggi... Bla bla bla..," ujarmu sembari memeragakan adegan deklamasi. Kamu sungguh lucu. Tapi raut wajahmu selalu menunjukkan ekspresi datar. Banyak teman bilang kamu itu pria tanpa ekspresi. Ah, mas Jati...

Pada akhirnya, beberapa waktu lalu kita berjarak. Kita sama-sama tak keberatan, karena fokus kita masing-masing berbeda. Kamu, demi mamah dan bapak, demi kebahagiaan dan jadi kebanggaan mereka kan, mas? Tapi sejujurnya mas, di sebuah ladang dalam hati ini, rindu satu-persatu disemai. Menantikan datangnya pesan dari kamu. Ataupun skype call yang kemarin dulu pernah kita lakukan cukup sering. Tetapi jarak ini terasa begitu angkuh, mas. Aku tahu, kita sedang sama-sama menikmati sulitnya berjuang untuk berdikari. Komunikasi kita mengendur, karena memang tak ada yang mengikatnya.

Aku masih gemetar karena berita yang aku lihat selewat ini. Pesawat latihmu belum juga ditemukan. Namamu disebutkannya keliru oleh si reporter. Di sini tersempil harap bahwa bukan kamu yang menerbangkan liberty itu.

R. Jati Wikanto,
Sepertinya aku salah langkah atas rasa yang dulu. Tapi, rapuhnya diri karena sebab-yang-kau-tahu, masih begitu terasa. Maafkan aku, mas. Maaf. Aku yakin, kita masih bisa bertatap muka, dan lalu meminta maafmu.

Pulanglah, mas. Kita nonton lagi, banyak film baru yang tentu ingin kamu nikmati. The Judge, Fury, Chef? Which one, mas? Kamu yang pilih kali ini. 

Kepulanganmu sungguh akan menjadi keseluruhan yang utuh bagi kami. 

Kami menantikanmu, mas Jati.




Ermaya,
yang sering kau panggil dengan sebutan mbak ngapak dan si alay. Pulanglah, supaya kamu bisa lagi memanggilku seperti itu, aku janji tidak akan menggerutu.


Jumat, Oktober 17

Love is a game

Sepulang meeting. Jalanan Jakarta. Kemacetan. Riuhnya suasana di luar. Jendela taksi. Berkedip lebih lambat dari biasanya.

Teringat tentangmu lagi, yang dengan sesukanya hadir dan pergi. Ah, tidakkah kamu tau bahwa aku sudah lelah. Pasti sulit sekali bagi hati ini yang dengan mudahnya terlonjak gembira, kemudian redup lagi. Bergerak dari suka lalu bermuram kembali.

Apa yang kamu cari dari sebuah suasana? Yang dengan mudahnya mengingatkanmu pada seseorang. Datang, pergi, berhasil dan gagal. Naik, turun, suka dan duka.

Love is a game
of tic-tac-toe,
constantly waiting,
for the next x or o.