Selasa, Juni 19

Hari Menabung Asa

A
ku isi lembar ini menerawang jauh ke 3 tahun silam. Dimana setiap dering ponsel itu menyadap sensor otakku, sejurus aku penasaran apakah itu kamu? Setiap hari kuendapkan rasa bahagia ini, biarlah menumpuk dalam-dalam agar tak seorangpun tahu kalau aku, JATUH CINTA. Kini, aku selalu menunggu untuk bahagia itu akhirnya datang. Harap ini selalu, jejak hati dan kakimu menuju padaku. Terkadang lamun ini menghadirkan sebuah pertanyaan? "Rasa inikah yang menyebabkanku gila? Apa kau tertular virusnya juga?" Untukku, mungkin saja jawabannya 'iya'. Karena itulah satu-satunya yang melegakan hatiku.
Malam ini tak kudengar bunyi dering ponsel, tak seperti biasa. Kau mungkin sedang tak kuasa untuk berbagi rasa. Atau kemarau menghampiri sehingga kerontangnya membuat kelu. Ah, meski kini kau kemarau, kau selalu jadi musim terbaik hingga ujung waktu. Tapi, aku selalu khawatir, kalau kau tetiba mengubah haluan. Berbelok di persimpangan dan tak kembali pulang. Humn, aku yang terlalu bangga menganggap bahwa akulah jalan pulangmu. Kaulah pejalan kaki yang menambatkannya padaku.
Aku bermain dengan rasaku sendiri. Menari dengan asa harapan, buah dari kecintaan. Mungkin tidak sekarang. Atau kelak bahagia akan datang. Sesegera mungkin dia hadirkan sebuah senyuman. Atau bahkan tidak sama sekali ia berikan. Tidak masalah.
Aku. Masih. Tetap. Hidup. Dalam. Sisiku. Sebagai. Jalan. Pulang. Milik. Siapapun. Yang. Ingin. Bersenandung. Denganku. Titik.

Rabu, Juni 6

Si Kembar

Obat dan cinta itu ibarat anak kembar berbeda nasib. Sama-sama miliki rendah dan tingginya dosis. Seperti hidup. Seperti rindu. Seperti nasib juga yang berbeda bentangannya. Selamat malam.

Merebah Tangkup Dua Arah.

Lalu mau apalagi? Bila hendak kau paksa hingga kapanpun bila tak bersatu, maka tetaplah tercerai. Lalu mau apalagi? Hal sulit dalam hidup kata orang itu memulai, mempertahankan jua. Mungkin maksudnya bila melepas itu semudah menggenggam pasir yang lama kelamaan akan hilang dengan sendirinya. Lalu kita ini apa? Kalau sekarang telah berbeda, mestinya tak ada lagi yang harus dipaksa. Merebah di tanah, menangkup jalan dua arah. Terpisah.

Juni yang Redup Hati

Tahun ini sudah memasuki Juni. Bulan dimana hari bahagia itu banyak datang. Ulang tahun, perjumpaan sampai berpisah kembali.
Juni ini akan ada banyak cerita meski baru menginjak awalnya. Kalau dulu saya pernah berceloteh tentang penghalau angin, kini mungkin istilah itu banyak berubah. Penghalau hujan. Karena tadi siang hujan lebat sekali. Dia membawa angin dari barat, berdampak pada hembusan tak adil yang menempa siapa saja yang jalan berlawanan.
Di setiap bulannya memang kita harus punya rencana, jadi tidak ada salahnya kalau Juni ini juga penuh dengan daftarnya. Hari ke-16 Ibu merayakan ulangtahun yang kesekian (tak ingat pasti), hari ke-18 ayah menyusul (walau jelas ayah lebih tua enam tahun) dan hari ke- 28 adik pertama saya nimbrung. Juni ini hari bahagia bagi keluarga. November tak kalah semaraknya, tapi kita bicarakan yang sekarang saja, karena optimis itu pasti kenyataan itu yang tidak bisa tertebak. Selamat sebelumnya untuk ketiga bagian hidup saya, mereka yang membuat saya sadar sejauh ini bahwa tidak ada tempat ternyaman selain kembali kerumah.
Ini baru awal Juni, tetapi ancaman setiap pagi adalah melihat buku-buku tebal berserakan. Agaknya sedikit mengganggu, namun boneka diantaranya seolah bicara, "jangan singkirkan teman-teman berlembarku ini."
Juni kalau besok ada cerita lagi bolehlah kau bagi lagi. Terang saja, mungkin hati ini sedikit redup di awal Juni ini. Entah mengapa hanya karena percakapan yang tak mengena saja, hati bisa sangat tangkas menangkap sinyal tak sedap. Nah, saya tak tahu pasti apa nyang terjadi 2 hari atau seminggu lagi, jelasnya sekarang ini hati sedang manja. Sentimentil dibuatnya. Sampai jumpa di Juni lagi. Semoga saya tak lagi bandel menulis. Hidup SPOK, EYD dan teman-teman sepermainan, seperjuangan.