Kamis, Agustus 16

Senin, Agustus 13

Perbedaan Senyawa

Mungkin saat ini kau sedang terbang disekitar pelangi. Empat lingkar merah kuning hijau biru. Bubuk pasirnya berwarna ungu. Bila dirasa membuatmu tersenyum lucu.
Sungguh, bila membayangkannya aku tertawa. Sayang, itu tidak nyata. Hal yang mustahil terjadi pada kita. Bahkan, untuk mengenangmu saja rasanya akan boros airmata. Kita, dua raga yang terpisah bermil-mil jauhnya. Dua jiwa dengan perasaan tak sejalan.
Jadi, apalagi yang akan jadi alasan? Pelangi. Senyum. Langit. Semuanya telah kucoba. Kita dua senyawa berbeda. Tak lantas bisa bersama.

Minggu, Agustus 12

Siluet Senja Kini tinggal Cerita.

Seperti yang pernah kubilang, aku dan kau, mentari dan nyiur pohon kelapa yang membentuk siluet senja.
Tak seperti sore biasanya, kali ini mendung, kau tertutup seluruh tubuh awan dan tak kelihatan. Aku mengaduk-aduk angin semampuku, mencoba mengusir angkuhnya balon seputih kapas itu. Hingga kelelahan aku hentikan. Usahaku sia-sia saja. Hari ini kita gagal membentuk siluet senja. Ada yang hilang dari rutinitasku. Kesenanganku direnggut awan sombong tak berperasaan, kejam.
Hari berikutnya kembali kutelan kecewa. Kau tak muncul juga, langit berkuasa penuh menyembunyikanmu dengan gelontor riuh air hujan. Aku hanya bisa merunduk mengikuti gravitasi air yang mengalir ke seluruhku. Dingin. Menggigil. Rindu.
Ini hanya masalah waktu, begitupun musim tak menentu. Apa dayaku menginginkanmu yang berada jauh diatas sana. Sepertinya bentukan siluet senja kita tak lagi bermakna, namun tidak bagiku. Sampai kini aku hanya bisa hidup terpejam. Karena melalui itu aku dapat membayangkan sebuah siluet senja yang indah, dari pendarmu dan bentukku. Hanya lewat itu saja, tak lantas jadi nyata.
Tadi malam aku rasakan sakit luar biasa. Seperti ada banyak cakaran di tubuh tak henti-henti. Paginya, kulihat tubuh ini tersungkur tak berdaya. Dikuliti, ditumpuk dan diikat jadi satu, lantas dibawa ke sudut dapur. Aku menjadi abu, nantinya.
Sorenya, dengan santunnya kau muncul. Aku hanya bisa melihat dari ventilasi yang memantul pendarmu ksalah satu dinding. Indah.
Ternyata, sebuah siluet senja itu tidak dapat bertahan lama. Kini tidak lagi bermakna. Kita dapat lebih dekat dan rapat, karena abu bisa terbang kemana saja ditempa angin. Hanya saja tidak ada lagi siluet antara kita, senja kembali sepi. Mungkin siluet lain sebentar lagi menggantikan hadirku.
Sampai jumpa, aku menunggu angin yang tak kunjung menerbangkan ragaku. Hanya helaan nafasnya yang membebaskanku dari sepi dan bisu. Sendiri tanpamu. Rindu. Sebuah siluet senja, kini hanya sebuah dongeng perih tak terelakkan.

Perjuangan Itupun Mengunduh Hasilnya

Tidak peduli dengan sengatan sakit yang bertubi kau rasakan. Dinginnya cuaca yang menusuk tulang belulang. Dengan setia, kau terus pantau dengan tajam beribu huruf yang membentang.
Sayangnya, aku jarang berada di sisimu. Jika saja satu atap menakdirkan, segelas teh bercampur lemon tersedia untukmu. Kubuat dengan campuran kasih sayang. Untukmu yang tengah berjuang.
Demi sebuah gelar ideal bagi seseorang, tak kau katupkan sedikitpun mata itu, tak kau istirahatkan bahu yang terus ditempa ngilu. Kau mantap berlari, mengejar apa yang disebut akhir.
Aku tak pernah bisa memberi apapun disela perjuanganmu, hanya seucap kata semangat yang telontar. Kuharap, energimu akan terisi penuh sampai kau rasa sudah saatnya berhenti. Dengan idealisme dan paham tentang kepunyaanmu, kuyakin tidak ada yang bisa membantah. Tak seorangpun.
Disini, jujur aku iri. Mengapa tak bisa sepertimu? Semestinya aku serap ilmu dan semangatmu, tapi hal ini berbeda. Aku tak punya apapun, bahkan daya untuk menangkal hal yang tak sejalan denganku. Aku ingin bisa setangguh kamu. Tapi, nyatanya jalan cerita kita lain. Meski begitu, tak henti aku hempaskan iri itu. Aku tak mau mengganggu konsentrasimu. Kau yang sebentar lagi semakin maju, pasti akan menabuh gema kelegaan.
Tiba saatnya hari dimana kau berkata, SELESAI! Tidak bisa kugambarkan perasaan itu selain mengucap selamat kepadamu. Akhirnya, ksatria yang nyaris menyerahpun mengunduh hasilnya. Sebuah perjuangan dari hati. Tak lekas menyerah pada amarah. Perjuangan itupun membuahkan hasil yang baik.

Jumat, Agustus 10

Dia mentari. Aku nyiur pohon kelapa. Kami melahirkan siluet senja.

Raga dan rasa

Masih ada jarak tercipta antara raga yang saling bersandar dan hati yang saling memiliki. Hanya rasa yang mengerti.

Miapah?

Miapah? Mengapa judulnya demikian? Aduh, kenapa bahasaku jadi akademis gini? Oh, mungkin terlalu lama aku kesampingkan bahasa 'renyah'. Baiklah, miapah adalah 'demi apa' yang terinspirasi dari salah satu orang yang saya follow di Twitter. Pertama kali membacanya, langsung kecantol aja dikepala. Miapah?
Miapah? Pertemuan terakhir dengan anak-anak KKN kemarin berawal dari banyaknya adik angkatan yang posting pengalaman mereka selama KKN di situs microblogging ternama. Sontak, langsung terbayang kamar mandi yang bisa diintip dari luar, airnya yang terkadang lumutan karena sumbernya dari Goa Creme dan house music 'tarakdungdes' yang selalu diputar mas Ari, anak Pak Dukuh yang kabarnya sebentar lagi akan menikah!
Waktu melalui semua rutinitas KKN, rasanya ingin cepat-cepat dua bulan itu berlalu. Hari pertama sampai kesepuluh, belum terasa membosankan karena padat jadwal. Mulai memasuki minggu kedua, semuanya terasa berbeda. Bosan. Untunglah, jarak Selopamioro dengan kota Jogja hanya 45 menit lamanya. Jadi, patjar suka jemput bolak-balik. Baik sekali, ya!
Nah, setelah sebulan, waktu menulis laporan mulai diabaikan, imbasnya ya di minggu terakhir kami disana, semalaman nggak tidur hanya untuk kebut! Alhasil, tempe goreng, sirup ABC buatan Genduk (salah satu anak KKN dari Fakultas Peternakan) jadi oase ditengah kesibukan. Siangnya, sirup itu tetap ditenggak meski....bulan puasa. Ya, anak KKN putra semuanya dari Teknik Mesin, dan mereka suka tidak menjalankan ibadah wajib dengan alasan, "Harus kerja keras biar BIOGAS kita cadas!" begitu selalu.
Satu kode yang hingga kini hanya subunit kami yang tahu, yaitu "Beli pipa.." yang artinya makan mie ayam di dekat Bendungan. Lagi-lagi saat itu bulan suci Ramadhan penuh berkah, tapi kami serempak tidak mengindahkannya. Jangan ditiru, yaa. Demi kebaikan akhirat kalian o:)
Hari-hari setelah semuanya berujung pada selesainya seluruh program, kami mulai bingung dengan kegiatan yang hanya tidur-tiduran di kamar. Bahkan, untuk mengajar ngaji anak mushola depan pun kami malas. Sampai pada hari dimana seluruh tas bawaan teronggok rapi di depan rumah Pak Papin, pak dukuh yang kami tumpangi kediamannya. Berat, iya berat meninggalkan. Senang? Emm, ada senangnya juga akhirnya semua berakhir dengan indah dengan jaminan nilai A. Tapi, wajah-wajah anak SD, pengajian dan jathilan kampung membuat kami sedih. Sudah telanjur berlinang. Mereka kehilangan kami, walaupun hanya dua bulan kami singgah. Sungguh, selama kami disana mereka bagai keluarga. Segala macam sayur mayur hingga daging sapi tak jarang mampir ke pondokan kami. Akhirnya, kami harus pergi.
Tuh, jadi nostalgia KKN. Ini semua karena buka bersama akhir bulan kemarin. Kalian, walau kadang mengesalkan, akan tetapi meninggalkan kesan dalam jadi bagian petualangan. Terimakasih kakaen!
Tahukah kalian walau saat KKN berjalan ada bagian selayaknya neraka, tapi saat mengenang itu semua dikemudian hari kalian bisa saja ingin mengulangi.
Jadi, gimana cerita pengabdian masyarakatmu? Miapah? Seru?