Sabtu, Mei 23

Tangan yang Manis

Akan banyak kenangan tersimpan dalam memori yang penuh sesak ini. Berjejal diantara muatan-muatan yang saling timpa. Mereka-reka segala sesuatu yang akan terjadi.

Kasih, segala macam cara kucoba untuk menghalaunya, pikiran yang memunculkan kembali ketakutan berlebihan. Semoga apa yang kupikirkan ini, tidak menjadi sebuah adonan kue bolu yang nantinya bantat.

Hari itu terasa sangat panjang bila kuingat. Memorabilia saat sebuah tangan bertandang pada kepala yang bebal. Memberikan energi baru pada suatu kepercayaan yang sempat goyah. Pastinya moment itu akan menjadi bekas yang bahkan pemutih pun tak bisa menghilangkannya.

Satu hal yang dapat ku katakan, hati-hati dengan hati yang lain.

Kamis, Mei 21

Aquarium Sinchan









Radang Tenggorokan Perdana [ di Kostan]

Untuk pertama kalinya radang lagi setelah cukup lama berpisah dengan Ibu. Waw, super sekali radang ini. Aku di tuntut untuk kuat menghadapinya tanpa Ibu. Makan tak enak, sakit sekali tenggorokan ini. Tapi walau bagaimanapun, aku harus makan, dengan terpaksa dan tak menikmatinya. Untuk menghadapi aktivitas yang menuntut badan ekstra prima.

Andai saja Ibu sejenak saja ada di sini, pasti bubur sarapan pagi telah tersedia. Obat yang diminta dari budhe ada di atas meja sekaligus minuman untuk membantu menelan si pil kecil nan hebat. Tak ada masalah sepertinya bayangan itu, hanya harapan dan keinginan untuk segera sembuh.

Ya, sosok yang sangat berpengaruh pada hidupku. Yang selalu memprogramkan semuanya untuk kebutuhanku. Membatasi segala sesuatu yang mengarah padaku. Ibu, tak akan lekang dari segala tindak tandukku.

Akhirnya malam itu Ibu menelpon. Awalnya aku berjanji untuk tidak mengatakan radang-ku ini padanya. Namun setelah muncul pernyataan, “Radang-mu gimana? Nggak kambuh kan di situ?”. Tangisku pecah. Pertahanan akan janjiku di awal tadi runtuh. Aku akhirnya bilang pada Ibu, ”Udah dua hari tenggorokan sakit banget. Nggak enak ma’em, Bu…”

“Kenapa nggak bilang, go Ir? Ke dokter, ya? Tak telponin mas Agung…” suara Ibu yang terdengar tetap tenang walau aku tahu, perasaannya pasti cemas.

“Rumah mas Agung jauh. Nanti ngerepotin, nggak mau.”

“Kalo kayak gitu terus kapan bisa makan enak?”

“Kalo udah sembuh…”sesenggukan akhirnya mewarnai pecakapan ini.

“Ibu tuh tau kamu sakit. Kerasa. Nggak usah di sembunyiin. Manut, yaa…”

“Aku ke dokter sendiri aja, yaa…”

“Yaa udah, kamu bilang mau ke dokter sendiri Ibu tau nggak bakal…”

“Pengen Ibu aja…”

“Iyaa, sekarang mimi susu, istirahat. Ora usah kelayaban…”

“Iyaa…”

“Assalamu’alaikum. Take care…”

“Kumsalam…”

Dan tekadku bulat untuk pulang dalam minggu ini. Setelah percakapan telepon itu. Ibu menjadi satu-satunya tujuanku.

Minggu, Mei 17

Mimpi sang Pemuja

Inilah apa yg kemudian disebut mimpi. Tak selamanya pemuja bisa mendapatkan apa yang di harapkannya. Terkadang begitu sulit diserap nalar, kala apa yg diperbuat terbang, terbawa bayu.

Kasihan memang nasib pemuja yang tak pernah tahu, bahwa segalanya tak berbalas.
Ia tak pernah sadar, bahwa ada orang lain yang jauh lebih pantas di rindukan sang terpuja. Padahal selama ini, ia berharap begitu banyak. Bila tahu kenyataan, pastilah ia akan menelan sejuta kepahitan yang tiba2 hadir menggelayut.

Jangan kau bilang padanya, bahwa si pemuja, kelak, benar2 tak akan mendapatkan apa-apa, termasuk cinta dan rindu dari sang terpuja.
Aku takut ia kecewa.
Aku takut ia tak bisa menghadiri pagi dg senyum bahagia seperti biasa. Satu-satunya yang terbaik adalah membiarkannya tersenyum setiap pagi,tanpa ia tahu kepahitan yang harus di hadapi.

Jahat memang,
tapi aku hanya ingin menilik senyum yg tak ingin dilukai mimpi tak terwujud.


Tetaplah tersenyum, wahai sang pemuja...

miss her so much!

Bund,saat sakit ini harus kutanggung sendiri,ingin sekali ada di pelukmu.
Merasakan hangatmu yang menyembuhkan.
Jauh kau disana.
Bund,kemarilah.
Aku rindu.
Aku sakit.
Tak tahu harus minum obat apa?
Meraung sendiri tanpa belaianmu.
Menangis antara sakit dan rindu.
Kau yang kubutuhkan saat ini, hilangkan semua perih.
Miss u, mum. .

Senin, Mei 4

Ketika

Orang itu, semacam senja menjelang kumandang kalam, menjemput petang dan perlahan tergantikan, ia tak bisa di gambarkan dengan memori cetak dalam album, ia tak suka dengan itu, ia hangat dan lembut, tapi berkedok masa bodoh dan acuh…

Permata lazuardi, biru indah itu melekat pada matanya. Sejuk menatapnya di antara kumpulan makhluk lain. Tiap geliatnya menajamkan indera penglihatan kabur ini. Bersamanya, rasanya begitu sempurna. Tak ingin ada akhir walau bermula dengan sederhana. Ya, cepat memang…

Entahlah. Sejenak kurenungkan ini, namun tertambat pada satu pikiran aneh
Tak pantas dan meragu,


When you're gone
The pieces of my heart are missing you
When you're gone
The face I came to know is missing too
When you're gone
The words I need to hear to always get me through the day and make it ok
I miss you

I've never felt this way before
Everything that I do reminds me of you
And the clothes you left, they lie on the floor
And they smell just like you, I love the things that you do


Hey, kau, atau apapun namamu… Mengingatmu bagai kidung senja tak berujung. Merinaikan makna puisi rindu yang teramat dalam. Berjalan ringkih di tengah rasa yang semakin menghujam. Tak cukup siap untuk menghadapi segala sesuatu yang mungkin terjadi,

Terseok oleh cemas membelukar,
When you’re gone…yang tak terbayangkan