Kamis, September 19

Gerimis dan Tanah Basah.

Jika orang-orang mengeluhkan gerimis yang gagalkan rencana mereka, aku justru mencintainya dengan sepenuh hati. Artinya, aku akan segera mencium wangi tanah basah yang bergumul dengan hujan yang malu-malu turunnya. Aromanya, ummhh, aku ilustrasikan dia sebagai parfum yang tak banyak dijual di mall. Ia tak perlu dibayar dengan uang, namun dapat dinikmati secara cuma-cuma. Hanya saja pergumulan mereka ini adalah barang langka. Karena tak semua orang menyadari, betapa mesranya paduan mereka berdua. Tanah dan gerimis. Magis!
Aku ingat pernah katakan hal ini pada seseorang, saat gerimis datang dan tanah sekeliling sedang kering,"Jika kita menghidu aroma tanah basah, pejamkan kedua matamu, niscaya seluruh lelah dan ragumu hilang."
Dia hanya tertawa, tak mengikuti anjuranku, sembari berkata,"Mana mungkin! Kau ini meracau saja. Yang ada aku membau apeknya tubuhku! Hahaha."
Aku diam. Gagal sudah seluruh upayaku untuk menjadikan suasana siang ini sedikit semarak. Namun, itulah dia, selalu saja begitu. Kami diam hingga sampai tempat tujuan. Sebuah taman.
Kami berada di persimpangan, jauh berjarak. Timur dan barat. Hitam dan putih. Manis dan pahit. Berseberangan. Namun, belakangan disadari bahwa satu-satunya yang menyatukan kami adalah diam. He is very good at the little gestures. Perbuatan-perbuatan kecil yang ia hadirkan untuk menunjukan rasa sayangnya padaku tanpa berkata apapun. Dia tidak pernah melafalkan cinta. Aku tak perlu merapal mantra untuk membuatnya berubah. Seperti tanah dan gerimis yang tak perlu menunggu perintah. Mereka hanya bergumul dan saling merayu untuk menciptakan magis yang beraroma manis.
Karena sesungguhnya kami sama-sama berada dalam kenyamanan. Meskipun hanya dalam diam.
.
.
.
Gambar dipinjam dari sini
Jika anda bertanya, maka ini adalah fiksi yang meluap dari hati. Hati siapa saja yang ingin berbagi cerita. Namun tak sepenuhnya tentang dia.

Tidak ada komentar: