Minggu, Januari 24

Negeri yang Pasi

Malam ini, dengan berbekal tidur sore tadi, saya memilih untuk mulai berkutat dengan benda yang sangat perkasa walau berkali-kali saya pisuhi. Sampai jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tidak terasa. Dari pukul 10 malam tadi, saya memilih untuk ‘jalan-jalan’, merefresh pikiran, berniat untuk napak tilas.

Banyak sekali yang telah saya lewatkan semenjak UAS lalu. Waktu saya banyak tersita di area Gugel dan Wiki saja, sebenarnya tidak betah berlama-lama, namun apa daya banyak yang harus dikebut saat itu.

Sekarang, malam ini, ketika niatan untuk membuka jejaring, mata saya tertuju pada satu nama, yang banyak menyebut dirinya ‘ingkang mbaurekso’. Godaan untuk membuka profilnya kemudian terlaksana, saya sangat mudah tergoda, apalagi dengan yang satu ini. Begitu menggoda. Selanjutnya terserah saya, toh dunia maya di hadapan mata. Profilnya? Ah, untuk apa! Sayang sekali bandwith saya. Satu klik, blog miliknya terbuka, ada link yang mengarah pada blog si empunya.

Sangat berharap ketika membuka blog itu, saya menemukan untaian kata tentang apa yang sedang ia emban yang ternyata tidak lagi jaya seperti masanya dulu. Namun harapan itu nihil! Yang ada hanya cerita, lagi-lagi tentang ilmu yang ia dapat, bukan tentang tanggung jawab yang ia pikul. Ah, bualan. Dan saya merasa tidak tertarik untuk melahapnya sebagai pengantar tidur malam ini, saya tidak memilihnya.

Mata saya kembali tertumbuk pada pesona link yang ada di dalam blog oknum tadi. Yah, sudah lama saya tidak ‘bermain’ disana. Dalam sekali klik, muncul posting yang masih sama dengan terakhir kali saya mampir. Melihat comment-nya masih sama ketika terakhir kali saya meninggalkan pesan. Ah, apa yang terjadi? Mengapa bisa sesepi ini, tidak ada apresiasi.

Akhirnya dengan sedikit geram saya meninggalkan jejak disana,” mari berjalan bersama, tidak sendiri-sendiri tentunya”. Berharap akan ada yang meresponnya, entah itu cacian ataupun bentuk simpati *malang sekali saya minta di kasihani*

Saya kembali berkeluh kesah kepada lelaki pelangi.”Apa yang salah, kisanak?” Mengalirlah obrolan tentang negeri yang tidak lagi memiliki semangat untuk berprestasi. Bersama dengan si lelaki pelangi yang semakin terang saja ronanya, rupanya malam ini kami memilih sesi mengurusi hal yang sebenarnya sudah berulang kali diperbincangkan. Mengapa? Karena sebenarnya ia peduli, sampai akhirnya ia muak dan berkata, “Kenapa aku harus berpusing lagi? Masaku sudah berakhir…”

“Iya memang, bahkan akupun iri dengan masamu yang begitu guyub itu…”

“Sudahlah, lalu apa yang mau dilakukan?”

“No ACTION!”

***


Kemudian saya ingin sekali lupa bahwa saya berada di dalam bagiannya. Negeri yang kini telah pasi. Nyaris mati.

Saya memilih untuk tidur. Besok, saya ada janji dengan lelaki pelangi. Sebelumnya saya berdoa, semoga suatu saat, sebelum semuanya benar-benar berakhir, negeri ini punya masa jaya tersendiri, dengan caranya sendiri.

Lampu utama telah mati, hanya tinggal si redup yang selalu tersenyum walau telah termakan tahun.

Night, world.

Night, love.

Selamat malam negeri yang saya harap mau lagi menggeliat, berkarya dan menggebrak.

1 komentar:

mencret cilay mengatakan...

tulisannya bagus, kata2nya ashoy