Selasa, September 15

Sebuah Perjalanan

Sahabat pernah bercerita pada 'saya' tentang segala kebodohan yang 'ia' alami. 'Dia' telah lama menunggu untuk dijadikan sang ratu hari itu. Ternyata kita tak boleh sepenuhnya percaya pada orang, bahwa nyatanya sahabat 'saya' itu dibohongi, bahkan disakiti dan ditinggalkan. Jadi, kemana janji si pria untuk menjadikannya sang ratu hari itu? Omong kosong!

Hal lain yang membuat'nya' tersiksa adalah tak bisa menghilangkan si pria dari pikiran'nya'. Ooo, apapun ini nampaknya si pria sangat gencar menembakkan aksi gombal hingga 'sahabat saya' merasa ada yang hilang saat si pria minggat. *Ehem, bila 'saya' yang mengalaminya, akan 'saya' ingat kebejatan dan hal-hal bodoh (yang ketika masih bersama bisa di maklumi), agar hal bodoh itu bisa membuat'nya' bosok. Ho, apapun.*

Bagian inilah yang paling sulit, ketika hati telah terjerat cinta *walau cintanya ternyata penyakit* maka sulit sekali saat harus membuka hati bagi hati yang lain. 'Dia' memang bukan orang yang mudah jatuh cinta. Jadi harus bagaimana lagi, disini 'saya' berperan sebagai "mak comblang yang gagal". Fiuuhh!

Sedih berlarut-larut membuat'nya' jelek. Mata sembab. Badan kurus. Pipi tirus. Tak ada daya. Yah, biarlah 'dia' menikmati kesendiriannya. Salah siapa tidak mau mencoba membuka hati? Hmm.

Dari sekian banyak hal yang 'dia' alami. Dari sekian kelakuan bodoh yang 'ia' lakukan, terselip rasa salut yang besar dalam benak 'saya'. Bahwa ternyata 'dia' menunggu, bukan menunggu si pria dengan segala bual yang menistakan, namun menunggu sampai rasa yang 'ia' punya tergantikan dengan sendirinya oleh hati yang lain. Mungkin bukan pria yang 'saya' sodorkan kala itu. Mungkin bukan si Slamet yang menjadi idola, atau si Jiwo yang dulu pernah ia suka. Mungkin seorang Adam yang akan senantiasa menyayangi Eve-nya.


***********


Dan rasa itu segera tergantikan. Oleh senyum kemenangan sang Adam. Oleh kecupan senja berinaikan hujan. Di Oktober dua ribu delapan.

Tidak ada komentar: