Minggu, Februari 5

Senja, Hujan dan Angin

Tadi aku sempat melihat senja memancarkan kuning mempesonanya, mendekati orange berpadu dengan gelimang awan yang masih bertabur sedikit putih, menuju malam. Kini tak disangka gelontor lebat hujan meramaikan suasana yang syahdu, aku tertawa, cuaca saja bisa cepat berubah. Apalagi tahun, pergantiannya begitu saja bisa dihitung, satu, dua dan tiga. Seolah satu itu hanya geseran detik saja, padahal satu itu terdiri dari 12 bulan dimana satu bulannya 30 sampai 31 hari.

Cukuplah pelajaran berhitung yang anak kelas dua sekolah dasarpun bisa melakukannya. Hampir 2 jam hujan ini turun lebat,dan selama itulah bayang lelaki mengagumkan itu hadir. Apalagi yang sebenarnya dipikirkan? Segalanya.

Sempat senyum simpul menggoda mengingat ketika pertama kali kami berkenalan, hanya lewat satu memoria saja kami bisa sampai dengan sekarang. Lewat ucapan lebaran yang menghanyutkan kami terus bermain kata hingga tahun ketiga. Dan dengan seloyang pizza dia berhasil mengambil hati saya *sampai sini jangan ada yang tertawa, hati ini begitu murah terdengarya, hanya ditukar dengan seloyang pizza untuk berdua ;;)*

Bahkan seminggu kemudianpun menjadi begitu bermakna, berurai hujan di pelupuk mata, ketika lelaki itu berkata sesuatu, menggetarkan dan membisukan bibir yang sudah berkali-kali mengenyam bangku pendidikan. Karena sabdanya tidak dapat dicerna oleh teori maupun praktek di sekolah. Butuh mengerti pelajaran kehidupan untuk mengendalikan. Iya, dia meminta saya untuk menjadi teman terdekatnya.

Pergolakan batin, kala itu saya masih dalam status yang tidak jelas. Walau masih anak kecil, saya sudah punya pacar 5. Haha! Bukan hal yang patut dibanggakan, namun dari sekian banyak cowok (ya, saya menyebut mereka cowok) hanya satu yang saya anggap sebagai lelaki, dan semoga kelak menjadi pria dan pemimpin yang baik. Saya jawab permohonan lelaki ini dengan bismillah dalam hati :p

Tahun pertama ketika menulis menjadi satu-satunya hal menyenangkan, kutuliskan semua hal tentangnya di semua laman dan jejaring. Tahun kedua menjadi tahun yang sedikit merosot, memang dua menjadi angka yang sudah tak prioritas lagi. Tahun ketiga, hampir lupa dan sedikit ingat celoteh disemua laman yang ada. Ah, tiap tahun memang begitu banyak yang berubah, seperti kataku tadi, bahkan senja yang mencinta sekalipun bisa lesap tergantikan kelam. Walau hanya untuk berubah jadi malam.

Lelakiku, jika bisik ini bisa sampai padamu, terbawa angin dan helai daun yang menjelma menjadi sebuah ruang udara yang berbaris rapi menggantikan alat sesederhana kaleng telepon, aku membisik pelan, untukmu yang sudah cukup mengerti bagaimana aku, selama tiga tahun lebih ini, tak henti-hentinya aku berdoa, jika kelak memang garis kita tak akan terhenti maka aku patut bersyukur, namun jika garis itu tak tahan lagi menggores rapi, tibalah analogi senja berlaku pada kita berdua, jangan pernah berubah. Kisah tak selamanya harus menjadi mimpi buruk yang menjelma menjadi kenangan.

Aku mau menjadi angin ditengah belantara hujan. Dia bisa kapan saja pergi, kapan saja berhembus kemudian hilang. Aku mau menjadi sepertinya dalam bab dapat kapan saja pergi dan berhembus, tidak untuk hilang. Aku mau menari menuju tempatmu kini berdiri, mengajakmu berkelana meraih asa yang tinggi, berakhir dengan jatuh dipelukanmu.

Aku menunggu untuk kita menjadi lebur bahagia.

Sebelumnya, mari kita cari jalan untuk merancang segalanya. Menuntaskan kewajiban yang sudah semestinya. Ingat, kalau aku angin aku akan selalu berada disekitarmu tanpa membuat kau beku. Aku dengan senang hati menghantarkan semua keperluanmu. Sedianya aku membantu. Sebisaku. Jangan pernah kau merasa memikul sendiri bebanmu.

Kini malam sudah berbatas dengan pagi. Saatnya beradu dengan Tuhan, tawar menawar mimpi. Untukmu, kalau aku bisa benar-benar menjadi angin hal yang paling ingin kulakukan adalah terbang mengikuti jarak yang membentangkan kita, sesampainya akan kutatap dalam wajahmu sebelum akhirnya berucap, aku begitu benci jauh darimu.

Tidak ada komentar: