Rabu, Februari 8

Ayah

A father is always making his baby into a little woman. And when she is a woman he turns her back again. - Enid Bagnold

Terburu-buru, pagi memilih temanya sendiri. Sabun yang menyusuri tubuh tak detil, cepat dihempas air dengan kencang. Berkali-kali sudut mata menengok angka sebelas, berharap detik tidak berdetak cepat. Pakaian serobot almari. Bedak bayi dan kunci.

Ini ritual yang tidak bisa ditinggalkan, pamit pada pemilik kunci kendaraan. "Aku pergi.."

"Uhuk, uhuk! " suara dari kamar, kusibak gordyn, lalu aku lihat tubuh lemah berwajah pucat.

"Antarkan ke dokter dulu, ya."

Kau pernah merasakan? Diburu waktu lalu dihadapkan dilema. Ya, kicau burung mungkin paham kala itu. Mereka seperti meledekku, menungguku mengambil prioritas mana yang lebih penting. Padahal keduanya sama-sama tak kalah hebat.

Ujian dan Ayahmu yang sakit.

***

15 menit kemudian sampailah ke klinik sakit kecil yang ditunjuk ayakhu tadi, hanya ada dua orang didalamnya, dokter dan susternya, begitu sederhana. Bahkan pasien lainpun tak ada.

"Sekarang berangkatlah, nanti terlambat!"

Sebenarnya ini sudah sangat terlambat. Sekali lagi aku tengok klinik dan isinya,
"Kenapa harus disini?"

"Karena mereka sederhana, tapi mereka tahu pasti cara mengobatinya. Cepat pergilah."

"Bagaimana ayah pulang kerumah?"

"Dokter itu mau mengantar."

Jadi, apa jawabanmu semestinya? Aku meninggalkan ayahku di klinik yang dokternya mau mengantar pasien pulang. Aku timbang-timbang, ujianku juga penting, jadi haruskah aku meninggalkan ayahku sendiri?
"Tunggu apalagi? Cepat sana.."

"Tapi..." sosok itu berlalu meninggalkan sambil terbatuk.

Dia yang biasanya bersiul dengan lovebird peliharaannya. Yang biasanya mengaduk nasi basi untuk ayam dibelakang rumah. Sekarang berjalan agak tertatih, kalah oleh sakitnya.

Sepanjang perjalanan aku berpikir, mengapa sebelum ini aku tidak begitu peduli padanya? Tidak pernah menanyakan kondisi kesehatannya?

***

Sepulangnya, aku belum melihat tanda-tanda kepulangan ayah. Aku kirim pesan,
"mau dijemput?"

"Sudah sampai masjid, tadi cari becak nggak ada.."

Ternyata dokter itu tidak pernah mengantarnya pulang. Dan angkutan umum mengantarnya hanya sampai ujung jalan, 2 km jarak untuk menempuh rumah dengan jalan kaki.

Aku menangis sambil memacu kendaraanku, menjemput sebelum aku jadi anak tak kenal balas budi.

Tidak ada komentar: