Selasa, September 27

Tiga Puluh Lima

Disana aku pernah melihatnya, berdiri tegak sejajar dengan panggung penuh reka adegan tak nyata. Memegang toa, menyerukan suara riuhnya. Memanggil segelintir wajah tanpa dosa yang dipaksa memikul hukuman atas dugaan tak berdasar. Dia sedang berperan menjadi tokoh utama, keras, lugas dan tegas.

Disampingnya banyak ajudan yang siap menempa apa yang ia titahkan. Mengatur segalanya.

Disana aku pernah melihatnya, sepulang dari masjid, setelah bercengkrama dengan Tuhan kami. Dengan rambut yang ditata sedemikian rupa dan basah ujungnya. Disitu ia tak tersenyum. Ia hanya sekilas melihat kemari. Lantas ia pergi, menjauh dan tak terlihat lagi.

Disini aku pernah melihatnya. Duduk diam mendikte apa yang semestinya aku tulis. Sebuah tugas yang menjadi tanggung jawabku besok pagi. Dan ia tak berhenti menghadap sini, mengintip selaksa pengawas yang peduli.

Disini aku berdiri, menanti dentuman kendaraan yang sore ini akan membawa kami melintasi panasnya matahari. Berdua, bersama dan tertawa.

Disini aku mengenang kembali menguak kembali semak yang menyembunyikan kenangan dengan rapi. Hampir setiap hari aku berdoa untuk pagi. Tolong, hembuskan nafas lagi, untuk bertemunya, menemaninya mengarungi semak yang lain. Menyelesaikan apa yang harus tuntas. Sebentar lagi.

Berjalan cepat, berlari dan terbang.

Aku selalu disini, seperti kau yang selalu disana. Kau yang dulu tak kusangka hingga kini masih ada.

Selamat menginjak purnama ketiga puluh lima.

Aku selalu suka dibawa ke tempat historial kita.

Tidak ada komentar: