Rabu, Januari 20

Hujan Pagiku

Masih sangat lekat dalam ingatan, aku terbangun dari pejam. Di antara semilir angin sehabis hujan dan bau tanah basah. Hampir satu jam aku memandangi jendela, menyambut matahari yang malu-malu keluar dari sarangnya. Di antara aku dan jendela, ada kamu.

Hembusan angin pagi itu terasa sangat menusuk, ia mampu menyapu haru di pelupuk. Air mata jatuh, entah mengapa, bagaimanapun sudah saatnya aku membangunkanmu.

"Selamat pagi!" sambil aku kecup pelan keningmu.

Perlahan sekali kamu membuka mata, mengedipkannya untuk menjangkauku.

"Pagi, Sayang..."

Sejak saat itu, semakin dalam rasa sayangku padamu.

Namun, jauh di lubuk hatiku, ketakutan itu semakin meracau.

"would it be better if we were never near/ knowing you more has always been my fear/ let’s say goodbye to find a better place/ before it’s too late"

"Sayang..." katamu lagi
"Aku selalu kagum pada hujan, ia mampu hadirkan suasana, ia ciptakan bau tanah basah dan dia..."

"Dia kenapa?"

"Dia selalu mengguyur rata seluruh jalan sampai hempas seluruh panas. Lalu..."

Kau sangat pandai menggantungkan apapun, termasuk juga perasaanku. "Lalu apa?"

"Lalu aku iri padanya, karena ia bisa menjangkau luas, menebas jarak dan jatuh tepat di atasmu. Kalau boleh..."

"Hmm?"

"Aku ingin menjelmanya, supaya bisa setiap saat mempersempit jarak dan merengkuhmu. Dan kamu, jangan pernah pakai payungmu kalau aku sedang menjelma hujan."

"Nanti aku sakit."

Iya, sang surya. Nanti aku sakit, karena kau sangat pandai mengikat harapan di awan. Kau itu surya, bukan hujan. Jadi, berlakulah seperti seyogyanya surya yang bersinar, bukan berjatuhan dan menimpaku dengan sepalsu-palsunya harapan.

Tidak ada komentar: