Minggu, Februari 15

Setelah Tujuh Puluh Tujuh Senja

Akulah wanita yang asing pada dirinya sendiri. Tubuh ini bagai penjara sesal dan gudang cinta untukmu. Rasanya aku kembali tidak paham atas perasaan ini. Kehilanganmu namun merasa masih memiliki jiwamu.

---

"Nantinya kita harus melangkah di hari ini dan esok, bukan kembali ke belakang, menengok seonggok kenangan."

---

Kau seperti burung besi, melesat jauh secepat kilatan cahaya. Kau lelaki sayap besi, pencipta kenangan yang maha. Kau pohon yang kokoh, kuat ditempa hujan berkelanjutan. Tanganmu selembut kapuk, mampu membuatku mabuk. 

---

Restoran cepat saji untuk berbuka puasa. Kau datang mendekat berikan sepaket makanan, tidak ketinggalan green tea ice cream sebagai inisiatif untuk menarik kesan yang baik.

Langkahmu, bajumu, baumu, tinggimu, rangkulanmu, masa-bodoh-tapi-perhatian-mu. Saat ini aku ingat semua itu. Tidak ada yang sepertimu. Aku terlalu lemah tanpamu. Aku yang saat itu tidak sadar, sembilan puluh sembilan hari selepas malam ini kau akan meninggalkanku, selamanya.

---

Di toko buku kau iseng menutup mataku dengan tangan kapukmu, berbisik "jangan serius-serius, nduk..." Aku bergidik dan mencubit perutmu. Ah, bahkan saat itu aku masih bisa tenggelam dalam pelukanmu, dan menengadah mencari senyum jahilmu. Aku benci mengingat ini, tapi sungguh aku tersiksa merindukan aromamu.

---

Kau kertas dan aku pena. Kita bersinggungan menghasilkan puisi berima.

---

Di toko ice cream kau menatapku dalam, kemudian berujar,"ikat lagi rambutmu, aku selalu terpesona melihat keseluruhan rahangmu."

---

Aku kembali pada kenyataan, buaian tentangmu harus kembali kurapikan. Salah-salah malam ini kau sambangi aku lagi lewat satu-satunya medium. Bermimpi. Kemudian, pasti aku melemah lagi. Mengingatmu lagi. Menginginkanmu kembali. Memusuhi Tuhan sendiri. Menyiksa diri dengan aroma maskulin lelakiku.

Tujuh puluh tujuh senja dari pertemuan terakhir kita, di mana kau selalu merajuk untuk bertemu amat lama. Besok tujuh puluh tujuh bergeser ke tujuh puluh delapan. Hampir mencapai seratus dan aku masih sangat mencintaimu. Mencintai ingatanku yang merekam tawamu, tinggimu, rangkulanmu. Mencintai tangan kapukmu. Mencintai bisikanmu. Mencintai caramu mencintaiku.


"Mengapa waktu itu kau Rabu dan aku Sabtu, mas?"


Tidak ada komentar: