Senin, November 2

Tentang Teman yang Baik

Satu tahun sudah sejak seseorang benar-benar berpulang. Bukan untuk memanggil kembali duka, namun rasa haru seperti berhasilnya alam menurunkan kembali hujan yang akhirnya datang di awal November ini. Bulan yang setahun lalu terasa sangat berat dilalui tanpa hadirnya. 

Kini aku hanya sekedar mendoakan, karena bagaimanapun ia pernah ada dan membahagiakan. Seperti tetes hujan dari gerimis ke lebatnya. Dan perlahan reda seperti tahu bumi hanya butuh diguyur sebentar saja. Lalu meninggalkan semerbak bau tanah yang menentramkan.

Al-Fatihah terlafalkan dari mulutku yang hina, mencoba mengirim doa semoga saja sampai ke alam sana. Lantunan ayat suci mengiringi setahun perginya seseorang yang tidak pernah terkubur jasadnya, tak punya batu nisan. Namun, ia tersimpan dalam-dalam bersama kenangan tentang teman baik, penutur kata yang lembut, pembawa tawa dan pemerhati segalanya. Semoga jalanmu dimudahkan untuk mencapai tempat terindah di surga.

Tidak ada namamu di pemakaman, hanya kenangan. Karena jasadmu terbawa oleh derasnya air yang mengalir ke muaranya. Muara bahagia. Surga yang tergambar indah. Dimensi berbeda yang lebih dulu kamu singgahi.

Syahdan, ada banyak cerita yang ingin kusampaikan, salah satunya perjuanganku yang berhasil melanjutkan hidup tanpamu, kebahagiaan yang aku peroleh setelahmu, pencarian yang kini sudah berujung pada satu lelaki dan untuk selamanya. Serta, pencapaian lain yang sebelumnya pernah kukeluhkan padamu.

Kita sudah sama-sama bahagia di alam masing-masing, bukan? Aku yakin itu.

Minggu, Oktober 4

It Keeps Calling


You just climb there, wondering what on Earth went wrong with something so promising.

It was a lovely dream. Now, it couldn’t be anything more.

And, so the pain will ease. And it will be glorious.

Walking down, and it's so easy to get lost. You give in to the pull of memories.

And, you will know that it's time to start all over again.

Sabtu, Juni 6

Im-Posessive

Sebuah pilihan

Di sebuah kereta menuju kotanya, perempuan bermafela hitam itu memasrahkan dagu pada tangan kanannya. Pandangannya menembus kaca kereta yang retak di ujung kanan atas, mungkin ulah para pelempar batu yang tak sadar perbuatannya dapat mengancam nyawa si empu di sisi jendela itu. Seperti ia yang saat ini tak sadar, ia yang hanya melamun saja sejak menaiki gerbong kereta yang sudah dipesannya sejak lama.

Pikirannya terbang kepada kehangatan pria yang sudah lama ia kenal, yang selalu ia panggil dengan sayang. Matanya masih menatap nanar keluar jendela, pandangannya bertumpu pada lamunan, bukan rel yang terlihat melengkung karena cepatnya laju kereta.

Di telinganya sekarang mengalun suara Sting yang membuatnya tersadar dari lamun. Ia membetulkan mafela hitamnya, merapikan rambut yang sudah beberapa jam dibiarkan berantakan.

Monday, I could wait till Tuesday
If I make up my mind
Wednesday would be fine, Thursday's on my mind
Friday'd give me time, Saturday could wait
But Sunday'd be too late

Dia bisa saja terus menunggu si lelaki kesayangannya ini, tapi salahkah jika ia mulai goyah. Ia merasa kehangatan mulai menguap di antara mereka. Entah. Kehangatan yang dulu pernah hadir perlahan meranggas. Janji yang dulu pernah ada mulai pudar. Entah karena apa.

Ia memutar kembali satu demi satu kenangan hangat itu. Saat lelakinya berjanji untuk menikahinya dalam waktu dekat. Mewujudkan mimpinya untuk memenuhi ambisi sejak awal, menikah muda. Di bawah rintik hujan di dalam mobil, saat mereka berteduh. Kini janji, hanya tinggal janji, sebuah bentuk nyata luapan emosi. Mungkin benar, jangan pernah mengambil keputusan saat marah, jangan pula berjanji saat kau sedang bahagia. Itulah bahayanya suasana.

Di tempat lain, lelaki itu bukan tidak tahu apa yang telah ditanamkannya di masa lalu. Saat itu, ia hanya tidak mau kehilangan wanita bermafela hitam. Tapi, sesungguhnya ia sadar betul dengan ucapannya, hanya saja waktu sepertinya harus terulur, lagi. Hanya perlu sedikit lagi sabar untuk mewujudkan mimpi sang wanita. 

Sting mengalun kembali, perempuan bermafela hitam membuat keputusan. Ia akan benar-benar meninggalkan jika memang apa yang ditunggunya tak akan pernah datang. Ia tidak akan benar-benar meninggalkan karena ia masih begitu sayang, asalkan...

"Seven Days" was all she wrote
A kind of ultimatum note
She gave to me, she gave to me
When I thought the field had cleared
It seems another suit appeared
To challenge me, woe is me
Though I hate to make a choice
My options are decreasing mostly rapidly
Well we'll see
I don't think she'd bluff this time
I really have to make her mine
It's plain to see
It's him or me



Jakarta, 6 Juni 2015

Minggu, Mei 17

Monday


Monday is waking up early and not to giving up too easily.

I'm too excited, because this Monday is different with another one.

You can hold his hand. And hug him anytime you want. He has appeared in this life, knowing that life is good at its best.

Thank you for being born in this such beautiful world. Happy Monday!

Senin, Maret 30

Salam Perpisahan

Jika esok memang kita berjumpa di persimpangan. Ingatlah bahwa aku pernah mengusap kepalamu dengan penuh sayang. Jika esok kita berjumpa, ingatlah bahwa kau pernah berkali-kali mengulurkan tanganmu saat aku terjatuh. Bahwa kau pernah bawa aku tersaruk di antara nikmat dan lara. Bahwa kau pernah tinggalkan beragam pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Bahwa kau pernah jadi senandung hidup tanpa nada. Bahwa kau pernah ada di sini meski kita tidak lagi saling kuasa atas rasa dan hati.

Sampai jumpa lagi. Semoga hidup kita selalu dalam naungan pelangi. Dan segera rasakan kembali kikuk jumpa pertama di persinggahan lainnya. 

Sampai jumpa. Au revoir.

Sabtu, Maret 28

Dariku. Perempuan yang Ragu.

Hai lelaki penuh tawa,

Ah, aku masih merasa bahwa hidup ini hanya sekadar mampir bersenda gurau, dan menari dalam drama menghanyutkannya. Tidakkah kau rasa bahwa skenario yang Tuhan torehkan untuk kita ini, adalah skenario terlucu jika kita bisa membacanya dalam sebuah buku? 

Masing-masing dari kita punya cerita yang berbeda di masa silam. Meskipun ada beberapa kebetulan yang akut, tentang lamanya kau bersama dengan sebelumku, dan aku dengan sebelummu. Kisah yang tidak memakan waktu lama ini, kuharap tak akan berakhir dalam waktu yang singkat saja. 

Tidak akan ada yang bisa menebak, dengan siapa akhirnya kau jatuh cinta. Orang asing yang baru kau temui kemarin, atau bahkan dia yang sudah kau anggap sahabat sendiri. Dan di antara kelimun embun, aku menemukanmu.

Jujur kuakui, pernah satu waktu aku tampik perasaan serba aneh dan cepat ini. Aku pikir, ini adalah waktu untuk mengisi kekosongan kita masing-masing. Namun, seiring berjalannya hari, kau runtuhkan benteng ragu. Di gate keberangkatan, selalu kau ulang, "sepuluh bulan dari sekarang, cuma kamu yang aku cari."

Tapi, tahukah kamu? Terkadang aku merasa, kau sangat mudah memutuskan untuk jatuh hati. Lalu, apakah masih ada lagi hati lainnya yang akan kau singgahi?

Ini bukan waktunya bermain-main lagi, lelakiku. Sudah cukup waktu bermain dengan ketidakjelasannya, yang membuatku habiskan waktu dengan sia-sia. Setidaknya, aku pernah mencoba untuk menjaga, tetapi segalanya berujung nestapa. Aku ditinggalkan tanpa beban, mengatasnamakan masa depan. Cih! Coba saja aku tahu akan berujung seperti ini, mungkin tidak akan aku jalani dengan runtut hingga dimakan keriput .

Semua orang tahu betul, aku sarat dengan kekurangan. Mereka benar, bahwa kau harus cukup yakin jika ingin membawa seseorang ke masa depan. 

Akupun tengah mendaras doa, apakah memang kau yang terakhir dan satu-satunya yang akan melantunkan kalam suci itu? Barisan aksara magis yang kelak membuat dua orang terikat selamanya.

Lelakiku, i thought the ultimate goal right now, is to eventually settle down. We may have loved too soon and it was too crazy, but let's walk and talk. Then, we'll find a way to the right path. No?

*Di antara kelimun hujan kita sama-sama tersadar, begitu cepat segalanya berubah, begitu cepat segalanya berjalan. Sudahkah kau tetapkan hatimu?


Kamis, Maret 12

A Long Conversation

Right now all people all over the world are just like you. They're missing somebody. They're in love with someone they probably shouldn't in love with. They have secret you wouldn't believe. 

They wish, they dream and they hope.

They are just like you, you could tell them everything. And they would understand.

And right now, they are sitting together with you. Having a long conversation about the future. He is just like a stranger before, but getting closer to you.

He is mr. Weird. He falls in love like would fall from bicycle. All of sudden.

Minggu, Februari 15

Setelah Tujuh Puluh Tujuh Senja

Akulah wanita yang asing pada dirinya sendiri. Tubuh ini bagai penjara sesal dan gudang cinta untukmu. Rasanya aku kembali tidak paham atas perasaan ini. Kehilanganmu namun merasa masih memiliki jiwamu.

---

"Nantinya kita harus melangkah di hari ini dan esok, bukan kembali ke belakang, menengok seonggok kenangan."

---

Kau seperti burung besi, melesat jauh secepat kilatan cahaya. Kau lelaki sayap besi, pencipta kenangan yang maha. Kau pohon yang kokoh, kuat ditempa hujan berkelanjutan. Tanganmu selembut kapuk, mampu membuatku mabuk. 

---

Restoran cepat saji untuk berbuka puasa. Kau datang mendekat berikan sepaket makanan, tidak ketinggalan green tea ice cream sebagai inisiatif untuk menarik kesan yang baik.

Langkahmu, bajumu, baumu, tinggimu, rangkulanmu, masa-bodoh-tapi-perhatian-mu. Saat ini aku ingat semua itu. Tidak ada yang sepertimu. Aku terlalu lemah tanpamu. Aku yang saat itu tidak sadar, sembilan puluh sembilan hari selepas malam ini kau akan meninggalkanku, selamanya.

---

Di toko buku kau iseng menutup mataku dengan tangan kapukmu, berbisik "jangan serius-serius, nduk..." Aku bergidik dan mencubit perutmu. Ah, bahkan saat itu aku masih bisa tenggelam dalam pelukanmu, dan menengadah mencari senyum jahilmu. Aku benci mengingat ini, tapi sungguh aku tersiksa merindukan aromamu.

---

Kau kertas dan aku pena. Kita bersinggungan menghasilkan puisi berima.

---

Di toko ice cream kau menatapku dalam, kemudian berujar,"ikat lagi rambutmu, aku selalu terpesona melihat keseluruhan rahangmu."

---

Aku kembali pada kenyataan, buaian tentangmu harus kembali kurapikan. Salah-salah malam ini kau sambangi aku lagi lewat satu-satunya medium. Bermimpi. Kemudian, pasti aku melemah lagi. Mengingatmu lagi. Menginginkanmu kembali. Memusuhi Tuhan sendiri. Menyiksa diri dengan aroma maskulin lelakiku.

Tujuh puluh tujuh senja dari pertemuan terakhir kita, di mana kau selalu merajuk untuk bertemu amat lama. Besok tujuh puluh tujuh bergeser ke tujuh puluh delapan. Hampir mencapai seratus dan aku masih sangat mencintaimu. Mencintai ingatanku yang merekam tawamu, tinggimu, rangkulanmu. Mencintai tangan kapukmu. Mencintai bisikanmu. Mencintai caramu mencintaiku.


"Mengapa waktu itu kau Rabu dan aku Sabtu, mas?"


Jumat, Februari 13

Good luck letter for you

I know you have purpose that i never know. 

What i know is you are there for something very specific. It's your once in a lifetime, a chance to fulfill your destiny. 

Thoughts and feeling come and go. 

People also. 

So, all the best.

Minggu, Februari 8

Surat untukmu: Aku mulai terbiasa

Kau adalah pria yang pernah menjemputku di suatu kesempatan yang tidak pernah kubayangkan akan sampai pada titik sejauh ini. Bukankan hidup itu penuh dengan misteri. Kau dan aku, bahkan belum pernah sekalipun bertegur sapa. Dan aku punya seseorang yang sangat aku sayang dan hormati sebagai pemilik hatiku saat itu.

Kau adalah pria yang dengan polosnya berkata, "mbak, kamu bagus pakai jersey dan sneakers itu." 

Kau juga pria yang pertama kalinya berani berkata,"kalau sudah menikah nanti, usahakan di rumah aja ya. Jaga anak-anak. Mereka beruntung punya ibu yang pintar." Ah... Itu pernyataan yang kamu lontarkan belum lama ini.

Aku merekam kenangan ketika kita pernah sholat berjamaah di tempat les bahasa inggrisku. Lafal merdu surat Al-Quran itu membuatku bergidik. Bahkan mengingat kamulah yang memintaku untuk membawa perlengkapan sholat sebelum kamu jemput. Ini belum seberapa maha, kamulah yang selalu mengingatkan aku untuk sholat hajat. Katamu,"walaupun bandel gini, siapa tahu nanti ada yang berubah pikiran buat jadi istri seorang anak bandel tapi sholeh." Senyum malu dan semburat pipi yang memerah tertangkap basah dari wajahmu.

Ingat saat kita makan di masakan kaki lima yang pedas itu? Kamu berkali-kali mengipasi lidahmu, seolah akan membantu meredakan pedasnya. Wajahmu kembali memerah, kali ini karena daging ayam dengan bumbu pedas level 5. Siapa suruh memesannya? Malamnya kamu mengeluhkan perut buncitmu kepanasan. Dan berkali-kali menyambangi toilet.

Aku ingat semua tentangmu. Sampai sekarang, saat kamu sudah diambil Tuhan.

---

Aku adalah wanita yang pernah kecewa karena pria yang meninggalkanku. Kamu yang pertama aku kabari ketika aku (sementara) tak lagi menjalin hubungan dengannya. Saat itu kamu hanya bilang,"yang sabar, nduk. Nanti pasti baikan lagi kok. Kalian itu kan udah lama pacaran. Eman lho."

Aku adalah wanita yang pernah melihatmu berjalan sendirian di pelataran mall di Jogja. Aku bersamanya kala itu. Dan ternyata kamu menyambangi seorang wanita, mantan kekasihmu. Kita sama-sama tahu kehadiran masing-masing. Tapi tidak ada yang menegur lebih dulu. Dan esoknya ketika bertemu, seolah tidak pernah ada cerita dengan latar di mall itu. Aku masih menyimpan rahasia ini sampai sekarang, saat kamu sudah berpulang.

Aku adalah wanita yang kembali bersama kekasihku, tetapi selalu ada waktu untuk perang ejekan di media sosial denganmu. Mungkinkah saat itu sebenarnya awal mula dari kamu mulai masuk dalam hidupku?

Aku adalah wanita yang kembali merasakan keterpurukan itu. Ditinggalkan untuk yang kedua kali. Namun, kita terpisah jarak beratus-ratus kilometer. Kau yang sedang belajar terbang di sana, pasti kaget ketika aku sapa,"mas, aku putus lagi."

"Nduk, Agustus ini di Jogja kan? Cerita-cerita ya."

Ini awal dari semua. Aku yang bercerita panjang lebar tentang alasannya meninggalkanku, sampai berlinang air mata dan kamu dengan lembut mengusapnya.

"People come and go."

Satu waktu kamu bersikeras untuk mengenalkanku pada mamahmu. Padahal saat itu, status kita hanya sebatas berhubungan intens lewat skype call, line dan telpon. Memang, berkali-kali kamu selalu bertanya,"apalagi yang kamu khawatirkan, nduk?"

Sampai suatu ketika aku menutup jarak, ya benar, aku kembali dekat dengannya. Tapi kamu terus bertanya ada apa. Aku terus merahasiakannya.

---

Pukul 02.30 dini hari, kamu kirim pesan:
"Aku lagi liat-liat foto kamu di facebook. Benci banget buat bilang kangen. Tapi, we never know what the future brings. Entahlah, apa kita ditakdirkan untuk jadi sepasang suami-istri nantinya, atau sebatas berteman aja. Aku nggak bisa tidur dari tadi, padahal besok terbang pagi. Nduk, take your time."

---

Setelah itu, kamu jadi Jati yang sangat berbeda. Mulai mengurangi intensitas mengingatkan makan dan sholat. Membalas pesan sangat lama dan hanya menjawabnya singkat. Aku masih terlalu bingung, mas. Bagiku, masalah hati ini lebih sulit daripada PR matematika waktu SMA.

Aku menikmati hukuman dari kamu. Sampai bulan Mei itu, akhirnya kita bertemu. Aku senang sekali, tapi tidak dengan sambutanmu saat aku datang,"kok makin gendut..."

Bila hati ini senang, mengapa rasanya waktu bergulir sangat cepat? Tetapi setidaknya aku berhasil mengabadikan kita di sebuah foto. 

Menjelang lebaran kita bertemu lagi di kotamu. Kita mulai dekat lagi, tetapi sekarang ini, kamu tidak lagi menanyakan,"apa lagi yang kamu tunggu?"

Sampai aku beranikan diri untuk membuka percakapan,"mas, kok sekarang beda?"

Kamu bilang, tidak mau lagi-lagi berharap padaku. Kalau nantinya kita berjodoh pasti akan bertemu. Aku sebal, kamu menyebalkan. Kamu berubah dan aku yang tersiksa sekarang. Ternyata perlahan aku mulai menyayangimu.

---

Nyatanya, bulan Oktober menjadi bulan yang sangat menyakitkan. Dulu, aku pernah dilafalkan cinta di bulan ini olehnya, aku bersikukuh menjadikan Oktober sebagai bulan penuh kebencian dan dendam. Dan di bulan yang sama, aku harus kehilangan kamu untuk selamanya.

Kamu pergi terlebih dulu, saat aku mulai merasakan bahwa aku mencintaimu.

Mungkin ini salah satu pertandamu. Kamu menjauh, mengulur jarak dan mempersempit waktu untuk kita. Sebulan tidak ada kabar apapun darimu. Jauh sekali. Aku mulai terbiasa namun aku masih benci kamu yang berbeda. Aku merasa kamu tidak lagi menyayangiku, padahal aku mulai mencintaimu.

Ternyata kamu wariskan "mulai terbiasa" itu supaya aku: Terbiasa untuk tidak lagi diingatkan sholat. Terbiasa untuk menjaga kesehatanku sendiri dengan makan teratur. Terbiasa untuk mandi tepat waktu. Terbiasa untuk tidak menantikan kabar darimu. Tidak lagi tertawa-tawa menerima telpon darimu. Terbiasa menyambangi Jogja tanpa keluhan darimu. Terbiasa untuk mencintai tanpa memiliki fisiknya. Terbiasa tanpa kamu. Dan, terbiasa mencintaimu lewat doa.

Khusnul khotimah, Jati Wikanto.


Kamu benar, people come and go. Unexpectedly.