Ini tentang sebuah perjalanan, panjang kurasa. Bisalah dibayangkan, pasti berakhir duka. Hanya bukan itu yang akan jadi titik tonjolnya, ini tentang sebuah ketegaran (tegar? terlalu lancang bila dikatakan demikian) yang sangat dipaksakan. Mengendap dalam rasa.
Saat itu, saya berjalan sendirian. Sebelumnya sepanjang jalan, saya bersama sosok itu, sosok yang dekat dengan saya sudah 2,5 tahun ini. Saya mulai mengenalnya berkat seseorang. Yang juga telah menemani selama itu. Sudah seperti ayah kedua saja, kami bercerita panjang lebar, namun diluar kuasa, saya meneteskan air mata di depan beliau. Cerita akhirnya mengalir sampai ke hilir, "Udah jangan sedih, anak muda itu masih banyak belajar. Yang penting banyak berdoa buat kebaikan.."
Turunlah saya didepan bandara megah ini. Riuh ramai orang lalu lalang tidak saya hiraukan, wajah kusut ini seperti sudah wajar menemani selama perjalanan. Tujuan pertama adalah mencetak tiket. Dengan berbekal kode flight saja, akhirnya saya harus berputar-putar mencari loket yang seharusnya mencetaknya. Dapat setelah setengah jam, tetapi, ah, rasanya langkah ini begitu berat untuk pulang.
Saya melanjutkan perjalanan, ke gate yang salah!
Berputar untuk yang kedua kali, 5 meter kira-kira dari jalan tadi. Masih berat karena sayu hati ini begitu terasa. Sedih sekali. Merasa sendirian di gedung semegah ini.
Akhirnya, duduklah saya di ruang tunggu. Masih sepi, terlalu dini sampai. Namun ini benar-benar my own time. Entah apa yang membuat saya menangisi kesendirian ini, airmata tidak henti jatuh saat saya memandang jaket biru putih ini. Memandang wallpaper yang sudah hampir seminggu saya pasang di handphone, foto kami berdua. Melihat sepatu yang sering kami kenakan bersamaan. Melihat dompet dengan foto di sudut kiri tengah, ia masih sangat kurus dibanding sekarang. Memandang tiga snack 'SNICKERS' kesukaannya. Ah, semua berbalik begitu cepat. Tidak pernah ada yang menyangka semuanya akan terjadi, sebuah perpisahan yang manis.
Panggilan untuk terbang terdengar, namun semua penumpang harus menuju gate lain, pesawat dialihkan gerbangnya. Ah, lelaah sekali rasanya kaki ini. Ibukota memaksa kaki ini berjalan bermeter-meter. Terdengar manja tapi sungguh, bayangkan, dengan hati yang sedang pedih berjalan saja terasa lelah. Kosong.
Sebelum masuk gate tadi, semua lancar, ini kedua kalinya saya naik pesawat. Tapi untuk kali ini, saya menangis diruang tunggu. Dan tidak ingin cepat-cepat sampai kota tujuan.
Masuk ke pesawat, jantung ini berdegup begitu keras. Tangan gemetar dan basah oleh keringat. Mata tak kuat untuk tidak memandang jendela dan kembali menangis. Saya merutuki diri sendiri, mengapa mudah sekali menangisi hal ini? Hati kecil saya berkata, sesuatu yang sudah terbiasa bila hilang akan sangat terasa. Betul sekali! Kehilangan dia sangat terasa, apalagi, jaket ini masih melindungi saya, jaketnya. Itu satu kenangan juga bukan? Ada alasan yang isa mencegah saya menangis (lagi)?
Penumpang sebelah mencolek saya, "Mbak sakit? Atau gugup?"
"Oh, enggak pak. Saya cuma kecapekan aja.."
Alasan yang menurut saya logis, tapi apa semua orang capek akan menangis? Ah, biarlah, toh bapak ini mengangguk saja dan mafhum dengan jawaban saya.
Pesawat mulai bergerak, perlahan dan geledek-geledek di kabin mengkhawatirkan saya. Tegang dan lemas rasanya. Belakangan saya baru sadar, kalau saya belum makan. Lengkaplah!
Selama terbang, awan hitam dan kerlip sayap pesawat saja yang menjadi pemandangan. Karena bosan, akhirnya lamun kembali ke terakhir kali kami bertemu. Hal itu membuat saya akhirnya berpikir, akan ada kesalahan lain yang menyebabkan ini, pasti. Saya berpikir lebih keras. Apa saja perbuatan saya yang tak berkenaan, terlalu banyak! Dan saya menyesal, kalau bisa memutar balik waktu lagi, akan saya perbaiki dan minta maaf. Tapi semua terlambat, sudah berakhir. Apa yang kami punya selama ini hilang sudah.
50 menit kemudian pesawat sampai. Di lobby, saya menebar pandangan, berharap sosok itu muncul, dia yang biasanya memakai jaket ini. Ah, rupanya saya berkhayal terlalu dalam. Tidak ada siapa-siapa. Hujan ini membuat semuanya semakin lengkap. Saya kembali menangis di taksi. Bapak taksi menyapa saya seperti sahabat lama,"Mbak kenapa?"
"Ah, saya kecapekan pak. Pingin cepet pulang aja.." ujar saya melempar senyum.
"Yaudah saya agak ngebut aja ya, mbak.. Bismillah.."
"Makasih pak, pelan ndak papa kok asal nggak kelamaan sampainya."
Bapak taksi tidak menimpali, seperti memberi waktu buat saya menikmati tangis ini.
Sesampainya di kostan, saya masuk hanya menaruh barang. Pergi lagi untuk mencari makan, hasrat untuk melahap makanan muncul tiba-tiba. Sendiri. Menikmati santapan ini. Sampai terbit pagi, ehm, dini hari. Ini pertama kalinya saya benar-benar melakukan hal bodoh, tidak berguna. Tapi menurut saya ini benar, daripada tidak bisa tidur dan saya jadi gila.
Esoknya, saya bangun pagi. Dan memutuskan untuk menempuh perjalanan 3 jam sendiri. Pulang ke kota asal hanya berbekal satu gelas minum. Sungguh! Saya sedang tidak waras. Tapi saya rasa, ini yang sebaiknya saya lakukan.
Apapun keputusan yang telah diambil, saya tidak akan pernah menyesal.Semua perjalanan ini, semua kenangan yang telah terjadi tidak ada yang akan saya sesali. Karena saya memilih dan saya harus siap segala konsekuensi. Apapun itu, semoga menjadi yang terbaik. Semuanya akan baik-baik saja. Semoga.
This is just a step, for the better or worse ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar