Rabu, Maret 25
Ratu Merah Hati
Tiga lampu menghadang di perjalananku kala itu, menyaksikan sosok ringkih yang telah dimakan masa. Meminta-minta dengan paras memelas. Hujan mengguyur tak memupus harapannya untuk dapat makan hari itu. Ia sepantaran dengan bunda kira-kira. Aku terhenyak.
Bunda pernah berkata padaku,”Bagaimana bila aku tua nanti? Apakah kau mau mengurusiku, nak?”
Gerangan apa yang membuat beliau berkata demikian. Ia membuatku berprasangka. Aku menjawab,”Ibu ngomong apa si? Ngaco. Ya mau laahh.”
“Dengan tenagaku yang telah terkikis, yang tak bisa mengambilkanmu nasi satu setengah centong lagi, yang tak sanggup lagi mengurusimu. Apa kau masih mau?” bunda menangis, aku jarang melihatnya selemah itu. Biasanya beliau sosok yang kuat, atau itu artinya kuat memendam perasaan yang baru saja disampaikan?
“Bun, apapun yang terjadi padamu, kau tetap ibuku. Yang mengandungku dan menjagaku hingga sekarang. Bersama ayah yang memang tak pernah menjangkau kami tiap waktu. Kami sayang kalian. Kulakukan segalanya untukmu. Aku baru pernah melihatmu selemah ini. Tanpa diminta tanpa ditanya, aku akan melakukannya.”
Itulah pertama kalinya bunda menceritakan kegelisahannya padaku. Saat beliau bertanya demikian, aku berusaha tuk meyakinkannya, menghilangkan segala kegelisahan yang dirasa. Setelah itu, aku menangis, tanpanya tentu.
Ketakutan Ratu-ku, baru saja diceritakan.
Aku menyayangi Ratu Merah Hatiku itu. Ia hidup, nafas dan peninabobok handal kala malam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar