Ayah…dalam kesendirian anakmu ini, aku mengingatmu. Setiap saat, setiap adzan subuh berkumandang, kau meneleponku, membangunkanku dari buaian mimpi. Menanyakan, “sudah sholat, nak?”
Aku menjawab dengan malas, “belooomm…” kau menutup telepon dan membiarkanku tersadar sendiri. Apa yang terbaik untuk diriku. Namun sekarang kau sudah jarang melakukannya, aku jadi merasa kehilangan sapaan pagi hari-mu itu, bagai sarapan kala subuh.
Bunda, katanya kau ingin membeli notebook? Kau minta di ajarkan membuat facebook? Kau ingin aku cepat pulang. Aku segera pulang, bunda. Bersamamu menjelajah dunia maya. Membuatmu tahu, betapa teknologi telah menjadi kebutuhan kita. Teknologi menjadi utopia dalam kehidupan kita kini, namun sekaligus menjadi dystopia yang mengancam.
Rasanya terlalu cepat bila ku mengingat saat-saat aku masih di gendong olehmu, ayah. Memetik belimbing di samping rumah. Belajar sepeda roda bantu di lapangan bawah. Mengobati luka jatuh dengan obat merah, hingga aku memberanikan diri belajar menunggangi kendaraan bermotor. Bayang-bayang saat aku kecil berkelebat dalam memori.
Beberapa waktu lalu, engkau menceritakan tentang kesusahan kalian ber-lebaran saat tak ada kendaraan dulu. Saat aku masih dalam balutan selimut gulung. Saking prihatinnya, aku pernah dikeluarkan dari bus lewat jendela. Seperti apakah saat itu? Kalian panik, kalian tidak ingin aku terluka atau bahkan tak bisa bernapas dalam pengapnya bus-kota. Aku bisa berkata apa? Selain terimakasih ayah, bunda, kalian masih menjagaku hingga sekarang.
Dua malaikat-ku, Allah selalu melindungi kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar