Ada aksara memilih untuk hening, tidak penuhi haknya untuk terangkai dengan lainnya.
Aksara itu jatuh tepat di sayatan luka. Merembes kedalam aliran darah. Terbawa oksigen dengan kegemarannya berjalan-jalan ke segala penjuru cabangan.
Aksara tak tahan dipermainkan, ia berontak. Memohon pada bulan agar dikeluarkan dan digunakan semestinya.
Bulan mendengarnya, aksara keluar, pecah berkeping-keping. Menjalar ke sisi-sisi kesedihan. Muram.
Susah payah ia merangkai maknanya yang hilang, bila tanpa keutuhan, mustahil ia menjadi sebuah pemahaman.
Lama, hanya telinganya yang belum dipersatukan. Ia tak bisa mendengarkan. Lembah duka memperlambat pemaknaannya.
Telinganya ada disisi kegembiraan, untuk memulainya ia harus tembus dinding ratusan milimeter tebalnya. Tak kuasa ia mohon kembali pada bulan.
Bulan menangis melihatnya, namun ia tak bisa memberi untuk kedua kali. Cukup darinya, aksara telah peroleh semuanya, hanya satu usaha saja yang belum bisa dicapainya. Menembus pendengaran untuk bisa paham.
Aksara mengatup. Menunduk dalam.
Kini ia merasakan betul sulitnya mendapatkan sebuah pengertian. Utuh.
Aksara terus berjalan, mencoba menelusuri bagian yang lain untuk dapat kejelasan.
Percuma, ia tak dapat apa-apa. Selalu, sebuah tanya menggantung murung. Bayang lalu yang terus ia pertanyakan.
Bila saatnya nanti ia sudah tak tahan. Mungkin itulah akhir dari petualangannya mencari pemahaman.
Takdir mengutusnya untuk mencari reinkarnasi pemahaman lain. Tidak lebih tetapi melegakan. Setidaknya, ia menjadi paham.
Pada akhirnya.
Minggu, April 15
Aksara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar