Siluet Senja Kini tinggal Cerita.
Seperti yang pernah kubilang, aku dan kau, mentari dan nyiur pohon kelapa yang membentuk siluet senja.
Tak seperti sore biasanya, kali ini mendung, kau tertutup seluruh tubuh awan dan tak kelihatan. Aku mengaduk-aduk angin semampuku, mencoba mengusir angkuhnya balon seputih kapas itu. Hingga kelelahan aku hentikan. Usahaku sia-sia saja. Hari ini kita gagal membentuk siluet senja. Ada yang hilang dari rutinitasku. Kesenanganku direnggut awan sombong tak berperasaan, kejam.
Hari berikutnya kembali kutelan kecewa. Kau tak muncul juga, langit berkuasa penuh menyembunyikanmu dengan gelontor riuh air hujan. Aku hanya bisa merunduk mengikuti gravitasi air yang mengalir ke seluruhku. Dingin. Menggigil. Rindu.
Ini hanya masalah waktu, begitupun musim tak menentu. Apa dayaku menginginkanmu yang berada jauh diatas sana. Sepertinya bentukan siluet senja kita tak lagi bermakna, namun tidak bagiku. Sampai kini aku hanya bisa hidup terpejam. Karena melalui itu aku dapat membayangkan sebuah siluet senja yang indah, dari pendarmu dan bentukku. Hanya lewat itu saja, tak lantas jadi nyata.
Tadi malam aku rasakan sakit luar biasa. Seperti ada banyak cakaran di tubuh tak henti-henti. Paginya, kulihat tubuh ini tersungkur tak berdaya. Dikuliti, ditumpuk dan diikat jadi satu, lantas dibawa ke sudut dapur. Aku menjadi abu, nantinya.
Sorenya, dengan santunnya kau muncul. Aku hanya bisa melihat dari ventilasi yang memantul pendarmu ksalah satu dinding. Indah.
Ternyata, sebuah siluet senja itu tidak dapat bertahan lama. Kini tidak lagi bermakna. Kita dapat lebih dekat dan rapat, karena abu bisa terbang kemana saja ditempa angin. Hanya saja tidak ada lagi siluet antara kita, senja kembali sepi. Mungkin siluet lain sebentar lagi menggantikan hadirku.
Sampai jumpa, aku menunggu angin yang tak kunjung menerbangkan ragaku. Hanya helaan nafasnya yang membebaskanku dari sepi dan bisu. Sendiri tanpamu. Rindu. Sebuah siluet senja, kini hanya sebuah dongeng perih tak terelakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar