Aroma embun subuh pagi ini menyadarkanku dari tidur panjang semalam, dari derai isak tangis yang telah lama dirunut berjam-jam. Siapa lagi kalau bukan gara-gara lelaki kemarau, yang di tiap detiknya bisa membuat air mataku meranggas kekeringan di taman.
Kejadian semalam berlalu dengan cepat benar. Memori otak yang memutarnya memaksa air mata tertahan membayangkan. Ini tentang berburu rasa cemburu, hendaknya tidaklah disimpan namun setiap ingin membuang jauh bayangan segalanya terasa begitu tajam. Cemburu memanglah sebuah siksaan.
Awalnya hanya karena sepotong cerita dari mulutnya yang menyayat. Lalu dia pergi meninggalkan karena tak tahan dengan pertengkaran. Seminggu tak ada kabar. Ini pertama kalinya dalam hidup aku menangisi seorang lelaki hanya karena sebuah pertengkaran.
Setelah seminggu ini bertahan, tak percuma kupakai gengsiku, meninggikan ego. Dia menyapa. Hangat seperti biasa. Seolah kemarin, seminggu yang lalu itu tidak terjadi apa-apa. Mungkin saja dia rindu padaku. Lalu kami bercanda lagi. Kami akur kembali.
Cerita ini selalu berawal dari seminggu kemudian. Siapa sangka, kini aku telah benar-benar menjadi bagian dari hatinya, dan hatiku yang kering dulu kini sudah kembali basah, memancar kembali hijau yang setahun ini sempat hilang.
Dia lelaki kemarau yang bisa menghangatkanku dalam sebuah ikatan. Dia yang bisa menghargai segala pendapat dan perbedaan. Emm, tapi tidak selalu juga, masalah perbedaan menurutnya hal yang prinsipil.
Cukuplah aku bercerita tentang wangi yang selalu ia sebarkan. Kali ini mungkin aku ingin mengisahkan tentang waktu dimana hitungan mundur diciptakan. Waktu saat kita berharap indah dengan masa depan. Waktu ketika kau berharap sesuatu dan kau telah mencapainya kini. Masa lalu yang membuat jengah. Dalam salah tingkah. Dan kebisuan.
Ketika dia bercerita dengan binar mata yang tidak dapat disembunyikan tentang wanita ini, dari situ aku sudah mencium aroma keterasingan. Mungkin memang tidak banyak yang cukup membuatku berkesimpulan, lelakiku pernah menaruh hati pada wanita ini. Wanita yang sejak awal tak kukenal. Bahkan aku baru tahu darinya, setelah tiga bulan kami bersama.
“Kau tahu, dia mengucapkan selamat padaku karena telah menemukanmu…”
Aku hanya bisa terpaku mendengarkannya yang senang sekali bercerita. Tentang wanita yang itu bukan aku ataupun ibunya. Dia terlihat bahagia. Saat itu aku sama sekali tidak tahu apa-apa, isi hatinya bahkan sebuah kisah yang mungkin tersimpan antara dia dan wanita yang sedang asik diceritakannya itu.
Lambat laun aku kembali tidak peduli dengan pencitraannya tentang wanita itu. Kembali menjalani kisah yang memang seharusnya kami rangkai.
Namun tetap saja, sejauh apapun aku menepisnya. Cerita tentang wanita itu tiba-tiba terngiang. Binar mata yang jarang sekali kulihat itu tergambar jelas, lagi.
Aku rasa pernah ada cerita antara mereka berdua. Entah apa, sejauh apa aku tak bisa meraba.
“Mengapa kau benci padanya?”
Aku tentu tak bisa menjawab karena tak kuketahui sebabnya. Rasa tidak suka itu menyesap begitu saja. Karena ini masalah hati dan hanya aku yang bisa merasakannya.
Kini, aku masih bisa menemukan jejak-jejak keterhubungannya dengan wanita itu. Wanita yang telihat luar biasa di matanya. Dekat dengan kesan sederhana, namun jauh dari pandangan orang-orang.
Kumpulan bingkai bergambar wajahnyapun pernah aku lihat. Ada banyak, puluhan mungkin. Jadi sampai saat ini, aku tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Aku cukup meraba saja karena itu adalah sebuah kisah yang ada di waktu dengan hitungan mundur mulai dari sekarang.
Setiap mengingat itu, rasanya hati ini tercekik.
Aku hanya ingin belajar jujur mengungkapkan karena kata ibuku bohong itu dosa.
Wajah yang terpajang manis di folder itu, mengapa selalu membuatku merasa cemburu?
*kisah seorang teman yang amat membenci masa lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar