Hei bung! Ini kali pertama aku bicara padamu melalui serangkaian kata yang menurutmu akan menjadi bualan di akhir mungkin. Ini juga kali pertama aku melihat sisi lain dari jiwamu yang katanya memancarkan ekspresi batin, mencerminkan hatimu. Diary dunia mayamu.
Ah, rupanya kau belum banyak mengerti. Tapi kau seenaknya saja menggunjingkanku dan teman-temanku. Itu tidak adil, hey kau yang merasa pandai sendiri! Kau tak bisa melihat hasil keringat kami yang tak kami jalani dengan hati. Kau tak melihat atasan kami yang begitu saja melepaskan kami tanpa arah untuk berbakti pada apa yang kita kenal dengan seragam coklat muda coklat tua. Kau tidak mengerti ini semua, bukan? Itu yang patut kau renungkan sebelum gegabah memberitakan.
Kami ini ingin sekali berbakti pada kerajaan. Kami ini ingin sekali kalian mengenal kami sebagai penyelamat media kerajaan. Tapi tampaknya kami punya hidup sendiri. Hidup yang tidak bisa lagi diusik manakala kerajaan yang ingin kami junjung tinggi tak lagi memancar aura wibawanya, kerajaan tak bisa lagi menjadi pengayom dan merangkul kami barang lima detik. Kamipun melihat adanya keretakan di dalam sana. Bahkan temboknyapun sudah mulai luntur oleh kepercayaan. Semua orang memandang jijik padanya, pada kerajaan kita yang kini sudah akan ditinggalkan. Tanpa jejak nama baik, kuingatkan.
Kami juga takut, kami dikenang hanya menjadi sosok yang mencari jabatan untuk memenuhi pengalaman yang kelak akan dipakai untuk menarik hati ideologi kapitalis di luar sana. Kami tidak mau itu semua. Kalau perlu, selamanya kami tak akan menuliskan jabatan di media kerajaan ini di lembar yang akan kami rangkai sebentar lagi. Kamipun tidak sudi, bung! Kami tidak memberikan apa-apa tetapi kami menikmatinya kelak sebagai pengalaman palsu, tidak esensial.
Jadi seandainya saja kau juga mengerti perasaan kami, mungkin cengeng tetapi disini kami berusaha tegar ditengah sentilan yang menusuk batin. Mungkin memang kau yang paling hebat, punya banyak ilmu tulis menulis sehingga kau bisa membahasakan kami di sisi yang buruk. Tetapi terkadang kata-katamu itu tak kau perhatikan. Semestinya kau berpikir dua kali, bertanya ke timur dan selatan, bagaimana sesungguh-sungguhnya kenyataan berjalan.
Kami ini cuma bawahan, yang selama ini dijadikan pajangan dan kami tak bisa menentang. Kami hanya kaum minoritas yang bermimpi menjadi mayoritas. Kami tidak butuh cacianmu, kami bahkan bisa apa untuk melawanmu yang sungguh pandai itu. Kami kaum bawah yang selama ini hatinya tersakiti. Kamipun bagian dari kerajaan yang bahkan tak tahu seluk beluknya, kami buta arah dan ditinggalkan.
4 komentar:
wehhh ... ni balasan atas tulisannya sapa e May?
saya pikir terlalu banyak memang tukang kritik di Indonesia, tapi jarang yang mau jadi pemain yang baik :)
tetep semangat menulis...
yang remeh temeh dan sederhana mungkin adalah sesuatu yang jujur!:)
semangat! *sekali lagi
@angga: hayoo. .siapa tebak,nggaaaa? :D
@mas Imam: nuwun maas buat supportnya! :D semangat,semangat! Fight,fight! *pompomgirlwannabe :p*
Posting Komentar