Selasa, Desember 16
Jerit
Sepi. Hanya temanku malam ini. Ia datang menyergap. Menyelimuti segala kerinduan yang ada. Kuhadapi sepi sendiri, ingin kutangkis, namun ia memaksa berada bersamaku malam ini.
Sepi itu menjalar melewati rongga dada ini, masuk ke hati, tersalur ke mata. Seketika tangis pecah. Linangannya mengalir melewati kelentikan bulu mata ini. Menetes jatuh ke lantai dan merebak menjadi aroma kesedihan.
Akankah ia menjadi teman yang setia di sampingku?
Sepi kunikmati. Dalam pekat malam yang tak berbintang. Dalam semilir angin yang sejuknya menerpa. Menerbangkan jiwa-jiwa yang yang larut dalam kesyahduan cinta.
Sepi saat ini menjadi teman akrabku. Layaknya sahabat yang berikrar, kutemani kau selamanya. Sepi selalu membawaku pada dunianya yang bisu. Tak bertuan. Aku tak tahu, ia telah jauh membawaku. Kunikmati saja kebersamaan dengan teman baruku ini. Mungkin keadaan akan jauh lebih baik dengannya, berteman dengan sepi, berdua dengan sepi.
Sepi perlahan menguasaiku. Mungkin karena aku telah banyak menghabiskan waktu dengannya. Aku telah akrab dengan sepi. Kami telah bersahabat. Dan kami mulai bisa menerima satu sama lain.
Sepi menjadi temanku. Temanku yang setia. Tanpa sepi, aku tak akan bisa bertahan sampai saat ini, menanti ia yang tak kunjung datang, yang aku harapkan bisa aku perkenalkan pada sepi.
Namun, sepi berkata, kau ada bersamaku, dan kau tak butuh orang itu. Yang kau butuhkan hanya aku, bukanlah dia, yang tak mengerti kalau kau membutuhkannya, merindukan kecupan magisnya.
Saat aku tengah bermesraan dengan sepi, ia datang. Pikiranku memunculkan ia kembali dalam benak yang telah jauh menguburnya. Mau tak mau, aku mulai merenggang dengan sepi. Aku mulai bersama ia kembali. Jahatnya aku, meninggalkan sepi sendiri lagi. Maafkan aku sepi. Lain kali saat ia meninggalkanku lagi, aku akan mencarimu. Egoisnya aku . Entah aku bisa bertemu denganmu lagi atau tidak, namun kau adalah sepi, temanku, yang pernah menemani sepi malamku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar