Sore ini hujan lagi.
Entah mengapa ia selalu memilih turun saat mentari hendak pergi.
Ada seonggok nyawa berdiri, seorang lelaki.
Seharusnya sudah dari tadi lelaki itu menata diri, bersiap menuju kenyataan saat ini.
Tapi ia memilih duduk diam, menunggu ditikam malam.
Tidak kuasa berdiri hanya untuk menemui sang Kirana, kekasih hatinya.
Yang akan terjadi sudah terbayang. Tangis sang hujan, dan hilangnya senyum Kirana.
Ia tak kuasa bila harus segera mengatakan, dirinya harus pergi.
Tidak akan kembali pasti.
Bagaimana harus berkata bila dirinya telah terpikat oleh mata yang lain.
Tidak lagi gadis Kirana bermata sayu, kini ia lebih memilih mata yang bening, yang tidak egois juga posesif. Atau lebih baik ia diam-diam meninggalkan, ahh, rasanya kebenaran ini harus dilafalkan.
********
Tekad bulat menerobos hujan dan malam, menjemput tangis Kirana.
Sesampainya disana, sang Kirana berdiri di depan taman. Begitu janggal untuk dilihat. Mata sayu itu sudah terlebih dulu bersama hati yang lain.
"Jadi ini yang akan kau sampaikan?"
Kirana berkata, "Kami satu jalan..."
"Tidak apa Kirana, akupun ingin berkata hal serupa. Aku sudah menemukan, orang yang akan kubawa ke jalan yang berbeda denganmu." tandasku dengan senyum mengembang.
Kami diam, mereka kutinggalkan.
Nyatanya tidak ada airmata malam ini, tidak ada tangis permohonan seperti yang telah kukira. Kami bahagia, dan menjalani tujuan yang tak sama, bersama orang yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar