Untuk pertama kalinya radang lagi setelah cukup lama berpisah dengan Ibu. Waw, super sekali radang ini. Aku di tuntut untuk kuat menghadapinya tanpa Ibu. Makan tak enak, sakit sekali tenggorokan ini. Tapi walau bagaimanapun, aku harus makan, dengan terpaksa dan tak menikmatinya. Untuk menghadapi aktivitas yang menuntut badan ekstra prima.
Andai saja Ibu sejenak saja ada di sini, pasti bubur sarapan pagi telah tersedia. Obat yang diminta dari budhe ada di atas meja sekaligus minuman untuk membantu menelan si pil kecil nan hebat. Tak ada masalah sepertinya bayangan itu, hanya harapan dan keinginan untuk segera sembuh.
Ya, sosok yang sangat berpengaruh pada hidupku. Yang selalu memprogramkan semuanya untuk kebutuhanku. Membatasi segala sesuatu yang mengarah padaku. Ibu, tak akan lekang dari segala tindak tandukku.
Akhirnya malam itu Ibu menelpon. Awalnya aku berjanji untuk tidak mengatakan radang-ku ini padanya. Namun setelah muncul pernyataan, “Radang-mu gimana? Nggak kambuh kan di situ?”. Tangisku pecah. Pertahanan akan janjiku di awal tadi runtuh. Aku akhirnya bilang pada Ibu, ”Udah dua hari tenggorokan sakit banget. Nggak enak ma’em, Bu…”
“Kenapa nggak bilang, go Ir? Ke dokter, ya? Tak telponin mas Agung…” suara Ibu yang terdengar tetap tenang walau aku tahu, perasaannya pasti cemas.
“Rumah mas Agung jauh. Nanti ngerepotin, nggak mau.”
“Kalo kayak gitu terus kapan bisa makan enak?”
“Kalo udah sembuh…”sesenggukan akhirnya mewarnai pecakapan ini.
“Ibu tuh tau kamu sakit. Kerasa. Nggak usah di sembunyiin. Manut, yaa…”
“Aku ke dokter sendiri aja, yaa…”
“Yaa udah, kamu bilang mau ke dokter sendiri Ibu tau nggak bakal…”
“Pengen Ibu aja…”
“Iyaa, sekarang mimi susu, istirahat. Ora usah kelayaban…”
“Iyaa…”
“Assalamu’alaikum. Take care…”
“Kumsalam…”
Dan tekadku bulat untuk pulang dalam minggu ini. Setelah percakapan telepon itu. Ibu menjadi satu-satunya tujuanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar