Lima purnama ini, entah sudah berapa kali aku mencoba untuk memohon. Berharap kembali pada hati yang sudah telanjur luka, hati yang dulu merasa tak ditembus oleh kasih dan sayangku seutuhnya. Raga yang terlihat kaku seperti robot, jiwa yang melayang entah kemana. Dan setianya yang ku khianati.
Ada bisu yang menyesap di balik bantal tidurnya. Ada rindu yang tertahan di lidah yang kelu.
Ia benar-benar kecewa.
Hanya maaf yang dapat aku haturkan ketika sebuah kesalahan tak dapat lagi ia maafkan. Hanya janji yang dapat aku penuhi untuk bisa menjadi seseorang yang ia ingini. Hanya sesal yang tinggal ketika lakunya sudah tak sehangat dulu lagi.
Antara bertahan dan melepaskan.
Diri ini sekuat hati berada di kondisi yang mungkin bagi sebagian orang tak harus dilanjutkan lagi. Yang menurut mereka, akan sia-sia saja. Tetapi, aku punya keyakinan bahwa lelakiku dapat menjadi dirinya yang hangat. Seperti ia yang dulu.
Aku pernah bilang padanya untuk menjadi jangka untuknya, dengan doa dan cinta yang berputar di pusatnya. Aku ingin menjadi masa depannya, menemani sekarangnya, hingga masa tuanya. Terlalu dini untuk menyerah, ada usaha yang mungkin belum aku lakukan, meskipun entah itu apa.
Biarlah aku upayakan sebisaku, hingga hati ini tak lagi bisa merengkuh hatinya yang telanjur kaku.