Hai, kenalkan, aku lelaki yang pandai membangun tinggi-tinggi batas. Batas apa saja mulai dari hal penting dan tak penting lainnya. Aku selalu terencana. Segalanya harus utuh. Sempurna. Hingga suatu waktu bagiku ini sebuah bencana…
Aku bertemu dia selewat lima tahun yang lalu, di tengah hiruk pikuk keriaan tepuk tangan dan yel-yel girang. Selintas lalu dia tak berarti apapun bagiku, tidak seperti saat aku terkesan pada cinta pertamaku. Acara musik. Lompatan klasik dan riap rambut pendek yang mengundang ratusan pasang mata untuk melirik.
Dia bukan perempuan yang kucari, polos, terlihat tak punya pendar ilmu sama sekali. Aku lebih sering terpikirkan cinta pada pandangan pertamaku, yang kemanapun selalu menjelma hantu. Aku pernah mencoba membuka hatiku, namun cepat-cepat aku tutup kembali. Tak kuasa. Ia tak pernah kuperbolehkan masuk ke dalamnya. Karena aku tak pernah berniat untuk mengundangnya.
Dia tipikal yang suka berada di keramaian. Terkadang bisa menjadi pendiam. Apa adanya, menjadi dirinya sendiri. Bukan jelmaan yang kuinginkan. Sepertinya belakangan dia tahu, aku pandai menciptakan batas. Namun dia tidak terusik dengan itu. Dia tidak mendekat, tak pula lantas mau menjauh. Jarak. Itulah yang dia ciptakan agar nantinya aku saja yang mengulurnya.
Aku mencoba menempanya dengan beragam kegelapan yang sengaja aku buat. Aku marah. Membentak. Memperoloknya. Meskipun hanya dalam canda, aku tahu ada kilat merah di matanya. Ia tetap bertahan. Upaya apapun untuk membuatnya bertekuk lutut, ia tetap pada pendirian. Sampai pada suatu saat dia bertanya padaku, “Sudah berapa lama kita saling mengenal?”
Tidak kujawab. Toh dia tahu sendiri harus menjawab apa. Mestinya dia pandai berhitung.
“Pernahkan kau merasakan sedikit saja rasa cinta padaku?” aku menoleh. Ia tidak menangis atau merajuk. Datar. Kemudian melanjutkan,”aku ini seekor gagak hitam berumur lima tahun yang awalnya belajar menembus langit untuk sampai ke kahyangan, mencoba membuktikan bahwa dewa dan cintanya itu nyata. Ternyata kahyangan bahkan tidak ingin dikenali, bahkan diraih sekalipun. Mungkin dewa dan cintanya di kahyangan memang mitos belaka, dan betapa tolol aku untuk terus mencoba menembusnya dengan gurat otot yang semakin renta juga kepak sayap yang semakin melemah daya.”
“Jadi, aku tidak bisa berlama-lama terbang menujunya. Karena semakin hari aku semakin tua dan mungkin untuk bertualang di luar batas kemampuan tak lagi bisa kukejar. Jarak ini terulur, terlalu pelan dan stagnan.”
Tak pernah lagi aku temui dia di tempat biasa. Terkadang sengaja aku mencari di tempat lain dimana dia sering ceritakan. Hingga pada bulan ketiga setelah ia akhirnya menyerah, aku berpapasan dengannya. Ia terlihat ceria seperti sebelumnya. Tak tampak gurat lelah perumpamaan gagak yang ia dongengkan kemarin. Kami berbincang. Heran. Ada rasa senang menyeruak masuk dan menciptakan desir aneh. Batas yang aku buat, sontak meringsek jatuh ke tanah ketika menemukannya.
Dia dulu perempuan biasa yang tak kucari, tak kuundang dan kini mulai menelusur di hatiku. Aku membuka percakapan dengan,”Apa kabar?”
“Aku baik, kau sendiri?” dengan parasnya yang jauh dari sempurnaku, ia mulai menggoyangkan tangannya sembari bicara, khas sekali. Lalu refleks aku menggeleng. “Kenapa?” tanyanya.
“Ah, tidak lupakan.” Aku tersenyum, kemudian tertawa untuk pertama kalinya. Kini aku tahu, dulu dia mengibaratkanku sebagai siluet senja. Ia matahari yang menyilaukan. Dan itu hal terlucu yang pernah kudengar, setelah sekian lama.
“Aku…emm..sekarang tahu bahwa kau tetap bertahan meskipun sakit terus kau telan.” kataku
“Dulu kau sangat berpengaruh dalam hidupku. Sejak dulu. Itu yang membuatku bertahan. Tapi aku lelah berjuang sendiri, hingga habis nyali ini. Beranjak memang berat, tetapi sudah lama sekali rasanya aku ditinggalkan olehmu. Belakangan aku terhenyak, semua ini sudah tak bisa kutebak alurnya. Aku bahkan tidak percaya lagi pada hatiku sendiri. Ingatlah, satu-satunya hal yang abadi adalah perubahan. Tidak terelakkan. Pasti terjadi. Ngomong-ngomong kemana saja kau selama ini?”
“Maksudmu?” aku kebingungan. Ia hanya tersenyum, bangkit dan berlalu pergi. Meninggalkan banyak tanya yang harus kutelan sendiri. Dia menjauh. Hilang.
Jika orang-orang mengeluhkan gerimis yang gagalkan rencana mereka, aku justru mencintainya dengan sepenuh hati. Artinya, aku akan segera mencium wangi tanah basah yang bergumul dengan hujan yang malu-malu turunnya. Aromanya, ummhh, aku ilustrasikan dia sebagai parfum yang tak banyak dijual di mall. Ia tak perlu dibayar dengan uang, namun dapat dinikmati secara cuma-cuma. Hanya saja pergumulan mereka ini adalah barang langka. Karena tak semua orang menyadari, betapa mesranya paduan mereka berdua. Tanah dan gerimis. Magis!
Aku ingat pernah katakan hal ini pada seseorang, saat gerimis datang dan tanah sekeliling sedang kering,"Jika kita menghidu aroma tanah basah, pejamkan kedua matamu, niscaya seluruh lelah dan ragumu hilang."
Dia hanya tertawa, tak mengikuti anjuranku, sembari berkata,"Mana mungkin! Kau ini meracau saja. Yang ada aku membau apeknya tubuhku! Hahaha."
Aku diam. Gagal sudah seluruh upayaku untuk menjadikan suasana siang ini sedikit semarak. Namun, itulah dia, selalu saja begitu. Kami diam hingga sampai tempat tujuan. Sebuah taman.
Kami berada di persimpangan, jauh berjarak. Timur dan barat. Hitam dan putih. Manis dan pahit. Berseberangan. Namun, belakangan disadari bahwa satu-satunya yang menyatukan kami adalah diam. He is very good at the little gestures. Perbuatan-perbuatan kecil yang ia hadirkan untuk menunjukan rasa sayangnya padaku tanpa berkata apapun. Dia tidak pernah melafalkan cinta. Aku tak perlu merapal mantra untuk membuatnya berubah. Seperti tanah dan gerimis yang tak perlu menunggu perintah. Mereka hanya bergumul dan saling merayu untuk menciptakan magis yang beraroma manis.
Karena sesungguhnya kami sama-sama berada dalam kenyamanan. Meskipun hanya dalam diam.
.
.
.
Gambar dipinjam dari sini
Jika anda bertanya, maka ini adalah fiksi yang meluap dari hati. Hati siapa saja yang ingin berbagi cerita. Namun tak sepenuhnya tentang dia.
Seperti bumi yang berputar pada porosnya, aku mencoba mengitarinya dengan doa agar ia selalu bisa mengendalikan semua dengan baik. Juga harapan agar rindu ini tidak muncul secara berlebihan (keterlaluan).
Sesekali, ingin aku menjadi seperti Nobita yang memiliki Doraemon dan mesin waktunya, agar aku bisa kembali pada kenangan kapan saja. Hidup dalam kenangan memang berbahaya, akan tetapi sesekali boleh kau menengoknya untuk merefleksi diri, betapa hidup memang harus lebih baik dari masa sebelumnya. Betapa hidup memang butuh mengecap kesendirian. Agar ketakutan pada dunia tidak sepenuhnya menguasai diri. Dunia memang menakutkan, tetapi keberanian lebih penting untuk segera ditemukan.
Sekarang saja nikmati sendiri, kapan lagi? Ketika kelak nantinya harus benar-benar berbagi.